PUNK
Oleh
: Tri Agustina
Setelah
melewati 7 jam perjalanan, kereta berhenti di stasiun Balapan. Ya, stasiun
tujuan dan kota singgahan yang tak menjadi tujuanku sebelumnya. Aku
menginjakkan kaki di tanah Surakarta dan menghirup oksigen pertama kalinya di kota
ini. Mataku terus mencari seorang wanita paruh baya, yang kata Mama akan
menjemputku dan menjagaku nanti. Pandanganku menyebar ke semua penjuru di
stasiun ini, tidak ada tanda-tanda orang yang mengenalku. Aku memilih duduk di
bangku yang sudah cukup penuh untuk mengisi kekosongan bangku tersebut. Aku
merogoh handphone yang sebelumnya aku taruh di kantungan jaket jeans yang saat
ini aku genakan. Aku menancapkan kabel earphone dan menempelkannya pada
telinga. Tanpa ku sadari, sudah ada wanita paruh baya yang berdiri di depanku.
Aku melepas earphoneku dan mendongakkan kepalaku padanya.
“Bibi,
utusan Mama saya?” tanyaku.
“Iya
Non, maaf ya Non, Bibi terlambat datang ke stasiun,” jawab Bibi itu. Lalu, Bibi
tersebut membawakan koper serta ranselku keluar dari stasiun.
“Bi,
parkirannya dimana?” tanyaku.
“Kok
parkiran, Non?” bingung Bibi.
“Taxi
ya, Bi?” tanyaku.
“Duh,
Non Cindy gimana sih? Kan kita ngebis,” jawab Bibi.
“Kok
ngebis sih, Bi?” heranku.
“Iya,
kan Boyolali jauh, Non,” kata Bibi yang terus melangkah di depanku.
“Bi,
kita naik taxi aja! Cindy yang bayarin, deh,” kataku sambil merogoh kantungan
celana belakang. “Dompet gue, kemana ya?”
batinku.
“Gimana
Non?” tanya Bibi memastikan.
“Ya
udah, ngebis aja deh, Bi,” jawabku. Sial!
Dompet gue ilang! Aku mengikuti Bibi dengan langkah gontai. Selama di
perjalanan, aku menjebol semua sosial mediaku; Facebook, Twitter, Path, dll.
“Non,
sebentar lagi kita turun,” kata Bibi. Bibi bangkit dari kursinya dan mendekat
ke bibir pintu, aku mengekornya. Bis berhenti di sebuah rumah besar yang elok.
Aku turun dan segera bersandar pada gerbang rumah itu.
“Ayo
Non,” kata Bibi, namun langkah Bibi berlawanan dengan tanah yang aku injak.
“Lhoh,
mau kemana Bi?” tanyaku.
“Naik
bis lagi, Non,” kata Bibi.
“Naik
bis lagi, Bi? Lhoh, mau kemana?” tanyaku.
“Kita
kan belum sampai, Non,” kata Bibi yang terus melanjutkan langkahnya ke arah
utara. Dengan langkah terseret, aku mengekor di belakang Bibi. Bibi
memberhentikan bis dan menyuruhku untuk masuk terlebih dahulu. Tak lama
kemudian, aku kehilangan sinyal internet. Sial!
“Bi,
disini enggak ada sinyal, ya?” tanyaku.
“Enggak
Non,” jawab Bibi. Aku sangat merasa bosan atas kehilangan sinyal. Aku memilih
meletakkan kepalaku di dekat jendela dan melihat hal-hal yang terlintas begitu
saja, cukup menyenangkan. Bibi mengajakku turun di pemberhentian bis terakhir.
“Ayo,
Non. Kita jalan ke bawah,” kata Bibi sambil menunjuk ke sebuah pedesaan yang
terletak di lembah.
“Di
bawah, ada sinyal, Bi?” tanyaku.
“Haha,
jelas enggak ada lhah Non. Ini kan desa, bukan kota dan bukan Jakarta,” jawab
Bibi.
Sesampainya di rumah Bibi, aku langsung naik ke atap
genting.
“Non, ngapain naik genting?” teriak Bibi.
“Cari sinyal, Bi!” jawabku.
“Percuma Non, enggak ada sinyal di daerah ini,” jawabnya.
Aku tak menghiraukan perkataan Bibi, aku masih memilih bertahan di atas
genting. Di atas genting, aku dapat melihat siapa saja yang akan pergi ke desa.
Aku melihat ke arah bukit, tampak seorang anak laki-laki yang berpenampilan
‘punk’ akan pergi ke desa. Aku cepat-cepat turun dari genting, lalu
menyembunyikan diri dan terus memantau anak punk tersebut.
“Bi, itu siapa?” tunjukku.
“Oh, itu Huda. Kenapa?” tanya Bibi.
“Penampilannya bikin ngeri, Bi,” kataku.
“Iya, dia anak punk. Jangan deket-deket sama dia, ya!”
kata Bibi. Aku mengangguk dan menuruti Bibi. Bibi berlalu pergi masuk ke dapur.
Aku mengembalikan badan dan aku sungguh terkejut, anak punk itu sudah berada di
depanku, ya, TEPAT DI DEPANKU!
“Hei, kamu anak baru, ya? Tadi, naik genting ya? Wah ..,”
serunya. Aku mundur beberapa langkah, ada rasa ngeri yang tak tertahankan.
“Hm, jangan takut. Aku enggak seperti yang kamu kira kok.
Kenalin, namaku Huda,” ucapnya. Rasa ngeri yang aku tahan sedari tadi,
lama-kelamaan pudar. Apalagi, setelah Huda memainkan ukulelenya dan menyanyikan
sebuah lagu nasional dengan aransemennya.
“Wih, suaramu ajib banget, aransemenmu juga we o we!”
pujiku. Ia tertawa kecil.
“Aku ajarin dong! Tapi, jangan di sini, ya? Takutnya
ketahuan Bibi,” jawabku. Ia mengangguk dan mengajakku ke bukit dekat batu
besar.
“Eh, Cin. Tau judul lagu ini, enggak?” tanya Hudasambil
memetikkan ukulelenya. Aku menggeleng dan menjawab, “Aku nggak pernah denger
lagu beginian. Ini lagu apa?”
“Ini lagu daerah Jawa Tengah, judulnya, Suwe Ora Jamu,”
jawabnya. Aku ternga-nga dan di telingaku menggema kata ‘Suwe Ora Jamu’.
***
Keesokkan
harinya, aku duduk bersantai di teras depan rumah Bibi. Aku melihat Huda dengan
penampilan punknya yang akan pergi menuju terminal.
“Huda!”
panggilku. Ia menoleh dan berlari kecil mendekatiku.
“Kamu
mau kemana?” tanyaku.
“Ke
kota, mau kerja,” jawabnya.
“Ah,
aku ikut kerja dong. Aku kangen kota, nih,” ucapku. Ia bingung dan akhirnya
menggeleng.
“Yah,
kok gitu? Kenapa?” ucapku kecewa.
“Kamu
kan anak kota, nggak biasa panas-panasan buat ngecari uang,” katanya. Aku
terdiam, ada benarnya juga perkataan Huda, tetapi, sepintas alasan terpikirkan
olehku.
“Waktu
kamu kerja, aku jalan-jalan di mall deh,” seruku. Aku meyakinkannya sehingga ia
terpojokkan, ia mengangguk dan aku bersorak kegirangan. Aku meminta izin pada
Bibi, walaupun awalnya, Bibi tidak mengizinkan, tapi, dengan rayuan dahsyatku,
Bibi mengizinkan dan membawakanku beberapa lembar uang berwarna biru. Yeah,
kota … AKU DATANG!
Huda
berjalan di belakangku dengan menyelempengkan tas di bahunya serta memetikkan
ukulelenya, dan sesekali melirikku.
“Kenapa
Hud?” tanyaku. Ia menggeleng dan kemudian ia masuk ke dalam suatu toko.
“Kamu
di luar aja ya, aku cuma bentar kok,” jawabnya. Aku menurutinya dan aku
menunggu di batu besar. Sekitar 10 menit, ia keluar dari rumah itu dengan
membawa botol minuman.
“Wah,
kamu tahu aja, kalau aku lagi haus,” kataku sambil menyambar botol minumannya.
Aku membuka botol minuman dan segera meneguknya, tidak ada 5 detik, aku
langsung memuntahkannya, “Minuman apa, ini? Kok rasanya pahit banget?!”
“Hehe,
itu minuman ramuan yang dibuat Ibuku sendiri. Maaf ya, kalau kamu mau minum,
aku beliin deh,” katanya sambil mengambil botol minumannya. Lalu, ia mengajakku
membeli minuman dan membayarkan minuman yang aku pilih.
“Eh,
itu ada bis yang mau ke kota, tuh!” tunjuk Huda. Aku berlari mengikuti Huda dan
masuk dengan setengah melompat. Saat perjalanan, aku mengeluarkan handphoneku.
“Kamu
bawa handphone?” tanya Huda melihat handphoneku.
“Iya,
kenapa?” tanyaku. Ia menggeleng dan berucap, “Hati-hati, di kendaraan umum
banyak pencopet dan kejahatan lainnya.” Aku mengangguk dan memasukkan
handphoneku.
Sejam
kemudian, kami turun di sebuah halte. Beberapa langkah dari halte, Huda
memberhentikan langkahnya pada sebuah sekolah yang sedang mengadakan upacara
bendera.
“Ngapain
berhenti?” tanyaku. Ia tak meperdulikanku dan segera menaikkan tangannya untuk
hormat.
“Hush,
merah putih sedang dibentangkan dan akan dikerek ke puncak. Kamu harus hormat!”
ucapnya. Aku menoleh dan mengikuti sikap Huda.
“Di
kota, setiap hari Senin upacara?” tanya Huda sambil melanjutkan langkahnya.
“Jelaslah,
upacara itu kan hal rutin yang acaranya ngebosenin mulu,” jawabku. Huda
tersentak dan memandangku dengan tatapan tak mengenakkan.
“Kamu
tuh, harusnya bersyukur, tau! Gak semua orang bisa kaya kamu!” bentaknya seraya
mempercepat langkahnya meninggalkanku. Aku mengejarnya hingga di depan mall.
“Udah,
sekarang kamu masuk mall aja! Nanti sekitar jam 2, aku balik kesini dan
harapanku, kamu juga udah nunggu disini!” ucapnya dengan nada tinggi. Belum
sempat aku membuka mulut, Huda sudah berlalu pergi meninggalkanku. Ia
benar-benar tak menghiraukanku.
“Apa ucapanku ada yang salah?” pikirku.
Aku memutuskan untuk mengikutinya diam-diam, ia masuk ke sebuah warung dan
sekitar 20 menitan, ia keluar dari pintu sebelah warung dengan membawa
piring-piring kotor, ia mencucinya. Dari kejauhan, ada bapak-bapak yang
sepertinya memanggil Huda dan mereka membicarakan sesuatu. Huda kembali
menyelesaikan piring-piring kotornya dan setelah selesai, Huda mendekat kepada
bapak-bapak itu dengan membawa sikat dan semir. Kemudian, Huda membersihkan
sepatu bapak itu dan sesekali mengelap sepatu itu dengan kaos yang ia genakan.
Aku ternganga melihat pekerjaannya yang serabutan, ia benar-benar tak sekedar
anak punk. Aku mengambil handphone dari celana jeansku dan mengambil fotonya
yang sedang menyemir sepatu. Seusai menyikat sepatu bapak tersebut, ia kembali
membersihkan piring-piring kotor. Tak lupa, aku segera mengambil fotonya. Di
kala senggang, Huda mengisi waktunya untuk menyanyikan lagu nasional dengan
aransemennya. Ibu warung datang menghampiri Huda dengan membawakannya sapu,
Huda segera memberhentikan aktivitasnya dan segera menyapu. Mumpung baterai
handphone masih cukup, aku mengambil fotonya lagi. Huda melirik ke arahku,
namun, aku sudah bersembunyi terlebih dahulu di balik semak-semak. Syukurlah … Aku melirik ke arlogiku, jarum panjang
menunjuk angka 12 dan jarum pendek menunjuk angka 10. Aku bergegas meninggalkan
semak-semak dan berlalu pergi menuju mall.
Setelah
puas mencuci mata, aku masuk ke sebuah toko pakaian. Aku mengambil 3 pakaian
untuk Bibi, aku, dan Huda dan membayarkannya ke kasir. Aku melihat arlogiku,
sudah hampir pukul 2. Aku bergegas membeli makanan dan keluar dari mall. Huda
sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian lain, tapi satu hal yang sama, masih
punk dan tetap nge-punk.
“Huda,
maaf ya soal tadi,” lirihku. Ia mengangguk.
“Oiya,
kamu udah makan?” tanyaku.
“Hm,
belum sih. Tapi bentar ya, aku belum sholat dzuhur. Sholat yuk!” aku
terbelalak, selama ini, tidak ada yang mengingatkanku tentang sholat. Mama
sibuk dengan pekerjaannya. Papa di luar negri. Kak Intan dengan dunianya. Kami
masuk ke dalam masjid, banyak tatapan sinis dari orang-orang masjid. Huda tak
memperdulikannya dan bergegas mengambil air wudhu, aku risih oleh
berpasang-pasang mata yang memperhatikan kehadiran Huda. Seorang laki-laki yang
lebih tua mendekat kepadaku dan berucap, “Neng, cantik-cantik kok, mainnya sama
anak begajulan, sih?” Untung saja, aku masih bisa mengendalikan emosiku.
“Hehe,
maaf ya kak. Saya main sama orang yang enggak dilihat dari penampilannya, tapi
perilaku dan budi pekertinya,” ucapku dan berlalu meninggalkan orang tersebut.
Aku mengambil air wudhu dan subhanallah airnya
menyegarkan. Aku kembali ke masjid dan bergegas mengambil mukena dari rak yang
sudah disediakan. Huda menjadi imam dan aku menjadi makmumnya. Mereka terkesima
melihat Huda si anak berpenampilan punk yang sholat, apalagi menjadi seorang
imam. WAH! Seusai sholat, aku melipat mukenaku dan mengembalikannya ke rak
sebelumnya. Orang-orang masih dikejutkan oleh kedatangan Huda, hingga pandangan
mereka tak lepas dari Huda yang keluar dari masjid.
“Huda,
makan yuk? Aku tadi beli ini,” jawabku, Huda menepi dan aku menyodorkannya
sebungkus makanan. Tiba-tiba, seorang nenek datang kepada kami dengan langkah
tertatih.
“Cu,
minta cu. Nenek belum makan dari kemarin,” lirih nenek tersebut.
“Maaf
nek, makanan kita cuma dua,” ucapku. Raut muka nenek yang semula mempunyai
harapan, sekarang berubah menjadi tak ada harapan.
“Cindy,
kamu nggak boleh gitu,” ucap Huda.
“Ini
nek, buat nenek aja, di makan ya, nek,” serah Huda pada nenek itu. Nenek
tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepada Huda dan berlalu meninggalkan
kami. Aku terdiam dan memasukkan bungkus makanan yang belum sempat aku makan ke
dalam plastik.
“Kok
enggak dimakan?” tanyanya.
“Kamu
nggak makan sih,” kataku.
“Duh,
maaf ya Cin. Aku kasihan sama nenek tadi, kasihan kan, belum makan dari
kemarin. Sedangkan aku, udah makan tadi pagi,” jawabnya. Aku mengangguk dan
kepikiran sesuatu.
“Huda,
kamu kenapa berpenampilan punk sih? Padahal kan, penampilan itu dapat menciri
khaskan watak orang tersebut. Kamu juga kenapa bohong sama warga sekitar
tentang pekerjaanmu? Aku tau kok pekerjaanmu, nggak sengaja, waktu kamu
ninggalin aku di depan mall tadi, aku membuntutimu dan melihat aktivitasmu,”
kataku.
“Hah?
Kamu salah orang mungkin,” kata Huda menyangkal. Aku mengeluarkan handphone
dari celana jeansku dan membuka galeri, aku memperlihatkan apa yang aku foto
tadi. Huda menelan ludah dan ia berkata, “Aku kangen sekolah. Aku … kerja
serabutan untuk membayar sekolah. Setahun yang lalu, pihak sekolah
mengeluarkanku karena aku tidak mampu membayar sekolahku. Awalnya, aku ngikut
anak-anak pengamen terminal. Tapi, setelah aku pikir-pikir, meminta-minta itu
bukan pekerjaan yang patut. Aku malu, mengapa aku tidak mencari pekerjaan
selain meminta-minta? Sejak saat itu, orang desa mengenalku sebagai anak punk
jalanan. Walaupun sering kali aku mengelak dan meyakinkan bahwa aku bukanlah
anak punk jalanan. Ya, mau gimana lagi?” Aku terperanjat mendengar ceritanya.
“Kamu,
kangen sekolah?” tanyaku. Ia mengangguk.
“Iya,
aku kangen sekolah. Kangen bendera merah putih, kangen jadi pengibar bendera,
kangen ngelihat merah putih yang berkibar saat aku mengerek talinya. Aku kangen
dan aku kangen banget,” Aku tertegun. Selama ini, aku selalu anti dengan upacara
bendera dan meremehkan sekolah. Padahal, diluar sana atau di dekatku saja, ada
orang yang ingin sekali sekolah dan menyaksikan berkibarnya sang merah putih.
Hm, cita-cita yang dianggap sebelah mata oleh sebagian orang, ternyata menjadi
impian terbesar oleh sejuta umat.
[FLS2N.KAB.2014]
Hai! Ikut FLS2N juga? Cerpen kamu yang ini dapet juara gak?
BalasHapusKenalin aku Tami, perwakilan FLS2N 2014 tingkat Nasional dari Provinsi Jambi^^
Hallo, juga! Hehe, harapan 3 sih :v
HapusOke, salam kenal yaks ;)
Salam kenal juga
HapusMaaf kelamaan jawabnya, buka blog cuma nge-post doang soalnya
Hehee... aku mau jadi temenmu, ada fb atau twitter gak? Add aku ya Inneke Utami kalau ada twitter follow aku di @innekeutami09 aku folback kok, mention aja;;)
Seneng kenalan sama kamu