Sandiwara
Cinta
Oleh
: Tri Agustina
Cerita
ini, berawal dari sebuah kenyataan manis yang sukses membuat kenangan indah di
lubuk hati. Ya, ini ceritaku dan ini pengalamanku.
Aku
sedang bermain petak umpet dengan adikku, adikku bertugas menjaga dan aku yang
bersembunyi. Aku menggiring kakiku menuju loteng bekas kamarku. Ya, aku
menjumpai tumpukan debu dan sarang tikus. Aku terperangah oleh dua ekor tikus
yang sedang menggerogoti kabel telepon usang.
“Hei, sejak kapan ada telepon seantik
ini di rumahku?” pikirku. Aku menariknya dari lorong meja,
sehingga membuat dua ekor tikus tersebut berlari terbirit-birit kembali ke
sarangnya.
“Aduh!”
seruku. Tanpa sengaja kepalaku membentur meja yang ada di atas kepalaku. Aku
mencoba bangkit sambil membawa telepon yang aku temukan baru saja. Aku berjalan
mengelilingi bekas kamarku yang kini sudah menjadi gudang dan sarang tikus.
Harapannya sama kok, ya, siapa tahu menemukan sesuatu yang menarik. Aku
melenggang tanpa melihat permukaan yang aku injak, aku tergelincir dan jatuh. Sakit
sekali rasanya. Aku bangkit dan aku baru sadar, jika aku terjatuh dari dipan.
“Oh, cuma mimpi,” batinku.
Aku membuka tirai kamarku, terlihat pematang sawah terhampar hijau, secercah
sinar yang berasal dari ufuk timur pun ikut meneranginya. Aku mengambil ponsel
serta membukanya. Seperti biasa, sudah ada sepucuk pesan tergambar di layar
ponselku. Dia, menjelma menjadi senyum yang tidak bisa ku jelaskan dengan
kata-kata, penyebab datangnya semangat tanpa alasan. Dia, yang mungkin semu
namun nyata. Serta dia, orang yang
mengenalku dan tidak ku kenali. Dia bak embun di pagi hari, saat fajar
menyingsing, kala semua orang bersiap dengan rutinitasnya.
Pagi
ini, aku berangkat sekolah dengan biasanya. Di temani oleh bayangan dan jejak
yang ku tinggal setiap langkahnya. Beberapa meter dari sekolah, aku bertemu
dengan kaum adam, nampaknya ia kakak kelas, kakak kelas yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Lelaki itu nampaknya tercengang melihat kehadiranku, aku melintas
di depan lelaki itu, aku tersenyum dan berlalu.
Saat
istirahat, Askar mengajakku turun untuk membeli beberapa camilan. Kala itu,
tempat sedang sepi. Mataku tertuju dengan seorang lelaki yang tidak asing. Ia
bersama dengan temannya. Saat lelaki itu menyadari keberadaan kami, lelaki itu langsung
menarik lengan temannya.
“Nan,
kakak-kakaknya kok langsung pergi waktu lihat kita, ya?” tanya Askar. Aku
mengangkat bahu tanpa memperdulikan ucapan Askar. Bel berbunyi dan kami segera
bergegas kembali ke kelas.
“Nanda,
di panggil Bu Rina di ruang guru,” ucap Sakti. Tanpa babibu lagi, aku bergegas
menuju ruang guru sendirian. Saat aku berjalan melintasi koridor kelas, aku
merasa ada sepasang sorot mata yang memperhatikan tiap langkah ini. Entah
siapa, batinku tetap saja tergoyak dengan firasat yang sama. Rasa yang hadir
kala fajar menyingsing, dia. Mengapa gerak-geriknya selalu saja tak tertangkap
oleh sorot mata ini? Tuhan, mengapa rasa ini tiba-tiba datang? Menghantui tanpa
mengenal waktu. Aku berjalan dengan bergumam, meyakinkan firasat yang tiba-tiba
hadir, TIDAK!
Aku
keluar dari ruang guru dengan membawa secarik kertas, kertas pedoman lomba
mengarang. Sekolah telah memilihku untuk mewakilkan sekolah dalam ajang FLSS.
Pembinaan akan diadakan seusai jam terakhir tiap harinya menuju hari perlombaan.
Aku kembali melintasi koridor kelas yang tadinya aku lewati. Aku menoleh ke
timur, sepi. Aku mempercepat langkahku, bukan karena aku takut, namun, aku
sadar aku sedang meninggalkan jam pembelajaran. Aku masuk ke dalam kelas, menjelaskan
keterlambatan masuk, dan bergabung dengan teman lainnya.
Beberapa
hari ini, aku di sibukkan oleh tugas dan persiapan lomba. Ponsel yang biasanya
terkondisi setiap waktunya, kini mulai merenggang. Meninggalkan beberapa
kegiatan yang mulanya memenuhi rutinitasku, termasuk membalas pesan singkatnya.
Aku menjadi jarang atau pun tak sama sekali menjawabnya, faktor pendukung
alasan terkuat ialah pulsa, aku belum sempat mengisinya. Hari ini, semuanya
terkontrol dengan baik. Aku melihat beberapa sosial mediaku yang sempat aku hiraukan.
Aku tertuju pada twitter, terlintas jelas di beranda tentang unek-unek seorang
lelaki yang mungkin sedang ditinggal oleh wanitanya. Aku begitu gemas dengan
tweet-tweetnya, satu cerita dalam tokoh yang sama. Beberapa tweet yang sukses
membuatku dapat menggambarkan seseorang itu.
“Eh, kenapa jadi aku ngurusin hidup orang?
Duh, Nan. Tapi tunggu, kece juga nih, kalau bisa dijadiin cerita,” pikirku.
Karna aku rasa tugas dan persiapan lomba sudah selesai, aku memutuskan membuat
cerita untuk mengisi blog. Tanpa sengaja, aku meretweet salah satu tweet orang
tersebut. Hidungku membesar, “Sial,
ketahuan ngestalk kan! Ah!”
Ibu
baru saja mengisi pulsaku, karena aku mempunyai pulsa, maka … sesopannya aku
akan membalas pesan singkat yang beberapa hari ini aku tinggalkan. Aku menunggu
balasan dengan menduakannya bersama netbook. Lagi-lagi, aku kecanduan oleh
netbook dan aku amnesia dengan ponsel. Beberapa pesan singkat serta miscall
memenuhi layar ponselku, dari satu orang yang sama, dia. Dalam pesan
singkatnya, ia mencoba memberi tahu dirinya, “Dek, aku orang yang kamu lihat di dekat gerbang sekolah beberapa lalu
dan jika kamu memperhatikan, aku juga orang yang berpapasan dengan kamu di
kantin sekolah.” Apakah mungkin, dia juga yang memiliki sepasang sorot mata
yang tidak berhasil aku tangkap beberapa lalu? Aku termangu sambil sesekali
mencuri pandangan menuju layar ponsel.
Untuk
kesekian harinya, dia mulai menunjukkan dirinya, dia nyata tidak semu. Dia benar
ada dan tak hanya ilusi, ini nyata, NYATA! Dan sekarang, aku mengetahui
namanya, Fahmi. Aku tak tahu oleh rasa yang tiba-tiba singgah, yang tiba-tiba
penuhi sudut terpencil di otakku, hingga memenuhi relung-relung hati. Mungkin,
aku jatuh cinta.
Hari
ini adalah hari perlombaan, aku bangun seperti biasanya. Aku meraih ponsel dan
aku merasakan getaran, pesan? Aku membukanya dan benar saja, “Dek, semangat lombanya ya. Bawa nama baik
sekolah. Jangan lupa, bawa doa dan harapannya. Sukses ya. Nanti, kalau udah
selesai, kasih kabar ya. :)” Aku histeris dengan pesan ini,
berjingklak-jingklak dan berteriak tanpa jelas. Entah apa yang aku rasakan,
intinya aku suka dan terbang, yup!
Aku
menggoreskan tinta demi tinta di beberapa lembar berbaris, aku terus menggoresnya
hingga hanya aku yang tersisa di tempat tersebut. Pengawas terlihat
mondar-mandir di dekat pintu sambil melirikku, seolah-olah memintaku untuk
cepat selesai dan keluar. Yup, selesai! Bu Rina sudah menungguku di luar dan
mengajakku untuk ke aula, menyaksikan pengumuman lomba yang sudah berlangsung. Namun,
tak ada nama Ainanda Sekarayu Kinasih dalam pengumuman lomba tersebut. Aku
memutuskan untuk minta dijemput dan segera beristirahat. Dalam perjalanan
pulangku, aku meninggalkan sebuah tulisan di twitterku, “Maaf, Nanda belum berhasil. :(“ Tak lama kemudian, beberapa
interaksi muncul di layar ponselku.
“Yaudah gapapa, sekarang istirahat dulu,
mesti capek abis nulis folio yg banyak itu, :)” mention dari … Mas Fahmi.
Ah, dia memang menjelma menjadi senyum yang tidak bisa kujelaskan dengan
kata-kata.
***
Aku
merobek tanggalan pada kalender lepas. Hari ini, tanggal 8 Juli. Iya, ada
seseorang nun jauh disana yang sedang merayakan hari kelahirannya. Pahit adalah
ketika aku sudah tidak bisa bertegur sapa atau mengucapkan selamat hari
kelahirannya. Selama 6 bulan, aku merintih kerinduan, menunggu kabar layang
yang tak pernah kembali ke pengirimnya. Yang mungkin pergi dan tak
memperdulikan jalannya untuk pulang. Mas,
aku kangen kamu. Mungkin, sepatah kalimat tadi belum cukup menggambarkan
semuanya, tapi setidaknya, kalimat itu sudah mewakili seluruh perasaanku. Semua
terjadi begitu cepat, tanpa teori dan banyak basa-basi. Aku melihatmu,
mengenalmu, lalu mencintaimu. Sesederhana itukah kamu mulai menguasai hari-hariku?
Kamu menjadi penyebab segalanya, segalanya yang ku lakukan setelah engkau
pergi, pergi yang entah kemana. Aku mulai membiasakan perjalananku tanpa kamu,
iya, sebelum aku mengenalmu. Namun, ilmu praktek memang tak sejalan dengan ilmu
teori, begitu pula dengan perjalananku, yang tidak sejalan dengan teoriku. Aku
tak bisa melupakanmu, sungguh. Kamu masih menjadi kenyataan di dunia ini, meski
tabu untuk kehidupanku. Aku melihatmu dari kejauhan dan tidak terlihat bila
kamu sedang melihat kejauhan, kamu sudah bahagia tanpa aku. Tanpa aku yang
nampaknya sudah tidak terlihat lagi di matamu. Kamu sukses merobohkan semua
harapan yang berpondasi semen, kamu juga berhasil mematahkan sebatang kayu
jati.
Ketika aku mulai memasuki dunia baruku, kamu
kembali mengetuk pintu lamaku, yang sudah terlihat lapuk termakan rayap. Kamu
pulang dan mengajakku berjalan-jalan mengingat masa lalu kita. Namun,
perjalanan ini terulang kedua kalinya. Ketika aku kehilangan komunikasi
denganmu, komunikasi yang sebelumnya berakhir dengan amarah. Aku mulai berlari
mengejarmu untuk mengucapkan kata maaf, namun, sepertinya aku kehilangan
jejakmu di persimpangan. Selama 2 bulan pula, aku mencarimu di segala
persimpangan. Aku lelah dan aku memutuskan untuk beristirahat di pojok jalan.
Tiba-tiba, seseorang menyodorkanku sapu tangan. Aku mendongakkan kepalaku untuk
mengucapkan terima kasih, namun, kedua mataku tertahan oleh sorot mata yang
tidak asing, Fahmi. Ia berbalik badan dan langkah tegap maju dari formasinya.
Kawan, Fahmi kembali. Kami berjalan bersamaan, walaupun tak beriringan, ia satu
langkah di depanku. Ia mengantarkanku kembali ke rumahku dan tidak berkata apa
pun. Aku tak sempat menahannya, karena aku tahu, ia akan kembali ke rumahnya.
5
Agustus, hari ini umurku bertambah 1 tahun. Ya, umurku 15 tahun, sudah cukup
dewasa dan kokoh untuk menjalani perjalananku yang masih panjang ini dengan
kesendirian, aku sudah biasa. Sudah 1 tahun lebih pula, aku mengenalmu dan
dibiarkan dalam alur cerita yang rumit. Rasanya menyebalkan jika aku tak
mengetahui isi hatimu, kamu sangat sulit ku tebak. Kamu teka-teki yang punya
banyak jawaban juga banyak tafsiran. Aku takut menerjemahkan isyarat-isyarat
yang kau tujukan padaku. Aku takut mengartikan kata-kata manismu yang mungkin
saja tak hanya kau katakan untukku. Aku takut mempercayai perhatian sederhanamu
yang kau perlihatkan secara terselubung. Aku takut. Semakin takut jika perasaan
ini bertumbuk ke arah yang tidak ku inginkan. Tolong hentikan langkahku jika
memang segalanya yang ku duga
benar-benar hal yang salah di matamu. Serta, kembalikan aku ke jalanku
sebelum aku mengganggu rute tujuanmu. Iya, sebelum kamu mengenalku. Ketahuilah
Mas, aku sedang berusaha melawan jutaan kamu yang mulai mengepul di otakku
seperti asap rokok yang menggantung di udara. Kamu seakan-akan
nyata, hingga aku tak percaya ternyata kita bisa melangkah sejauh ini. Iya,
saat aku mengerti kenyataan yang terjadi, saat kamu tak pernah menganggapku
serius dan hanya menjadikanku pelampiasanmu saja. Terima kasih dengan sandiwara
ini, terima kasih oleh hal-hal sederhana yang seakan-akan sengaja diciptakan
untuk tidak dilupakan, terima kasih. Dan selama ini juga, aku tak
pernah berani mengatakan satu hal yang mungkin mengagetkanmu. Aku
mulai menyukaimu, diantara rindu yang selalu gagal ku ungkapkan serta dalam
rasa canggung yang belum ku pahami.
Kamu. []
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar