Aku
dan Pengalamanku
Oleh : Tri Agustina
Matahari
menarikku untuk turun ke jalanan, namun, aku tak sendiri. Aku ditemani oleh
asap, deru kendaraan, sepeda, dan bayanganku. Coba saja buku tulisku tidak
habis, aku pasti enggan keluar rumah. Aku keluar rumah dengan menggunakan kaos,
celana, dan sepatu. Aku mengambil sepeda alias ontel di garasi, aku lebih
menyukai menggunakan ontel ketimbang motor. Mengapa? Alasanku adalah, yang
pertama, karena aku belum mempunyai SIM dan yang kedua yang paling penting, aku
ingin membudidayakan hidup sehat, dengan cara mengurangi pemakaian asap
kendaraan, lagipula, jika aku menggenakan motor, sama saja dengan membuang
asap, padahal asap tersebut dapat mempercepat kematian orang. Asap kendaraan
ini mengandung gas karbondioksida, gas ini beracun bagi manusia. Aku mengayuh
sepedaku, jalan tampak ramai karena dipenuhi dengan kendaraan bermesin. Untung
saja, aku tidak lupa menyelipkan masker ke kantung celanaku, jadi, aku bisa
menggenakannya dan ada ruang untuk terbebas dari gas berbahaya tersebut.
“Ada
yang bisa saya bantu, Nak?” sapa pelayan toko tersebut.
“Saya
mencari buku tulis, Pak.” kataku. Pelayan tersebut masuk ke etalasenya, ia
mengambilkan buku untukku.
“Mau
ambil berapa, Nak?” tanyanya. Aku mengacungkan 5 jari. Ia menghitung total
belanjaku dan aku memberikan selembar uang 20ribu.
“Tidak
usah menggunakan plastik, Pak. Saya punya keranjang di ontel saya. Terima
kasih.” jawabku santun. Bapak itu ter-oh
dari tolakanku menggunakan plastik. Aku kembali melalui jalan yang sama dan
beberapa menit setelah itu, aku sampai di rumah. Tampaknya, bunda sudah sampai
di rumah.
“Assalamualaikum..”
kataku. Bunda membukakan pintu dan menjawab salamku.
“Bunda
punya sesuatu buat Zahra lho, Bunda harap, Zahra suka.” ucap Bunda. Aku
mengernyitkan dahi, bunda mengeluarkan botol minuman berwarna oranye dengan
merk Tupperware.
“Alhamdulillah,
terima kasih Bunda! Ini botol minum Tupperware yang selama ini aku
idam-idamkan! Satu-satunya botol plastik yang mempunyai kualitas tinggi.”
jawabku.
Esoknya,
aku bangun pagi-pagi. Aku ingin membantu bunda menyiapkan sarapan.
“Bunda,
botol minuman ini, boleh aku bawa ke sekolah hari ini, kan?” tanyaku. Bunda
mengangguk. Setelah semuanya siap, aku pamit kepada bunda, meminta restunya
hari ini. Aku berjalan menuju sekolah, aku melewati jembatan dan aku melirik
kali tersebut. Masya allah, ini sungai atau tempat akhir pembuangan sampah ya?
Aku tertegun dan segera melanjutkan perjalanan ke sekolah.
“Zahra,
hari ini ada ulangan ya?” sapa Zenni. Aku mengangguk. Zenni berlari dahulu
menuju kelas. Sesampainya di kelas, ia tampak belajar dan mencorat-coret kertas
demi kertas dan lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Zen,
kamu sedang apa? Kok sepertinya sedari tadi kamu sibuk sekali.” tanyaku.
“Aku
sedang mencoba mengerjakan latihan ini Ra.” katanya.
“Ooh
begitu, biasanya kamu ngehabisin buku untuk coret-coretan ya?” tanyaku.
“Iya
Ra, 1 latihan saja bisa menghabiskan 1 buku.” jawabnya.
“Kalau
menurutku, bisakah kamu memperkecil coretanmu? Sehingga tidak memboroskan buku.
Semakin banyak penggunaan kertas, semakin panas juga dunia ini.” kataku. Zenni
melirik dan melanjutkan kesibukannya. Aku memilih untuk menyingkir, karena
sepertinya dia sedang sensitif.
“Ra,
ini botol minum kamu ya? Harganya berapa? Beli dimana? Kok bagus sih? Bisa
dipakai berulang-ulang lagi.” ucap Luna yang langsung menyanyaiku bertubi-tubi
itu.
“Bunda
yang membelikannya, jadi aku tidak tahu. Iya, tupperware ini bisa dipakai
berulang-ulang dan ramah lingkungan.” jelasku.
“Ra,
kalau bundamu mau beli, aku titipin 1 dong, yang warna biru muda.” kata Luna.
Teman-teman yang lain tampaknya menguping pembicaraan kami dan mereka pun ikut
mendekat. Alhasil, mereka tertarik dan berniat untuk memesan botol minuman ini
kepada bunda. Alhamdulillah, karena tupperware, aku jadi dekat dengan
teman-teman, hoho. Bel masuk berbunyi, semuanya bubar dan mereka langsung
mempersiapkan kertas putih bersih. Aku mengeluarkan kertas yang sebaliknya
sudah ada tulisan-tulisan. Selagi masih ada ruang untuk menulis, kenapa tidak?
Hehe. Soal dibagikan dan kelas pun hening. Waktu habis, semua lembar jawab
dikumpulkan. Aku mengumpulkan yang pertama kali, hal itu yang membuat guru
melihat-lihat tulisanku.
“Kenapa
kamu mengerjakan di lembar bekas, Zahra Maudina?” tanya guru.
“Biar
hemat bu, tapi itu kan terlalu hemat kan bu?” celoteh Zenni.
“Ibu
bertanya ke Zahra, bukan ke Zenni!” sergah guru tersebut. Zenni menelan ludah
dan tersenyum manyun.
“Ya
bu, yang dikatakan oleh Zenni itu benar.” kataku.
“Bagus.
Anak-anak, tirulah perbuatan Zahra ya! Selain hemat, kalian juga akan lebih
mencintai lingkungan.” jelas guru tersebut. Beberapa menit kemudian,
teman-teman mengumpulkan lembar jawab mereka dan guru yang bernama Ibu Siwi ini
keluar. Aku menghampiri Zenni, namun ia malah menjauh. Sepertinya ia kesal
kepadaku.
“Hei
Ra! Aku pikir, kamu sangat mencintai lingkungan. Hmm, hal apa yang membuatmu
cinta dengan lingkungan sih?” tanya Manda.
“Ya
dunia ini. Aku mencintai nyawaku, nyawamu, dan nyawa semua orang.” kataku.
“Maksud
kamu apa Ra?” tanya Manda.
“Tanpa
lingkungan, apa kamu bisa hidup?” tanyaku.
“Bisa,
kan Allah yang membuat kita hidup.” jawabnya.
“Apa
yang membuatmu merasa bebas? Kenyang? Puas?” tanyaku.
“Bebas
itu dunia, kenyang itu makanan, dan puas itu ...........” Manda terdiam.
“Puas
itu adalah apa yang kamu rasakan sekarang. Puas tidak? Jika kamu bisa ngelihat
orang yang kamu sayangi masih di dunia ini? Puaskah kamu masih bisa hidup di
umur sekarang? Oke maaf, aku memang punya masalah dengan lingkungan, dan itu
tidak hanya sekali dalam hidupku.” kataku.
“Maaf
ya Ra, kalau boleh tahu, apa yang membuatmu seperti ini?” tanyanya.
“Aku
tidak mau kehilangan orang-orang yang aku sayangi untuk kesekian kalinya.
Ayahku adalah seorang polisi hutan, setiap 3 jam sekali ayah patroli mengitari
hutan. Pada suatu hari, ia melihat segerombolan orang membakar hutan. Saat ia
mencoba memadamkan api tersebut, api tersebut malah menyambar ke pohon-pohon.
Malapetakanya, ia terjebak di antara pohon-pohon tersebut dan ... Ia ditemukan
tewas. Aku tak tahu, apa yang diinginkan oleh orang-orang itu. Ya, mungkin ini
adalah peringatan oleh Allah untuk kita agar kita sadar dengan lingkungan.
Lingkungan juga mempunyai hati, ingin dihargai dan disayangi.” kataku.
“Ra...
Aku baru sadar. Terima kasih ya, Ra. Ayahmu pasti bangga mempunyai anak
sepertimu. Oiya, maksudmu dengan kata ‘tidak hanya sekali dalam hidupku’ itu
apa ya?” ujarnya. Aku tersenyum.
“Kakakku
juga meninggal karena terlalu sering keluar dan terlalu sering menghirup udara
diluar sana. Ia menderita kanker paru-paru.” jawabku. Manda ternganga.
“Ra,
yang tabah ya. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang
sama denganmu. Terus, yang akan kamu lakukan sekarang apa?” tanyanya.
“Mematikan
lampu dan mematikan AC.” jawabku.
“Haah?
Ya panas dong! Nanti kalau keringetan gimana?” seru Ghina yang diikuti teman
lainnya.
“Masih
mending kan? Kalau kalian masih bisa berkeringat. Itu tandanya kalian sehat.
Kata siapa kalian akan gerah? Buka saja jendelanya, kalian juga akan ngerasain
gimana segarnya udara alam.” sahut Manda. Mereka terdiam. Alhamdulillah, Manda
sudah sadar dengan pentingnya lingkungan. Kalau kalian, kapan? Buktikan dong,
kalau kalian cinta dengan nyawa kalian B-) Katakan tidak untuk GLOBAL WARMING!
^^ []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar