Bunda
Oleh : Tri Agustina
Hari ini,
hari pertama aku masuk ke sekolah yang baru. Ayah di pindah tugaskan ke kota
Boyolali, kota kecil yang aku baru tahu namanya ini. Boyolali sangat berbeda
jauh dengan Jakarta, tempat tinggalku sebelumnya.
“Anak-anak,
hari ini ada siswi baru di kelas kita. Hmm, perkenalkan dirimu, Nak!” ucap Ibu
Guru. Aku maju selangkah dan memperkenalkan diriku.
“Namaku Clara
Faradhina, kalian bisa memanggilku dengan nama Fara. Aku anak pindahan dari
Jakarta, aku pindah karena Ayahku di pindah tugaskan ke kota ini. Mm, terima
kasih.” kataku. Teman-teman yang semulanya memperhatikanku, lama-kelamaan
mengacuhkanku. Ada yang salah dariku?
“Oke
anak-anak, jika kalian ingin mengenal Fara lebih dalam, jangan sungkan-sungkan
ya. Baik, silahkan duduk di kursi pojok itu ya, Fara.” kata Ibu Guru sambil
menunjuk kursi yang berada di pojok. Aku meletakkan tasku dan mengeluarkan buku
pelajaran Bahasa Indonesia. Aku berharap, hari ini akan menyenangkan dan aku
mendapatkan teman baru.
Bel istirahat
pertama, teman-teman langsung keluar meninggalkan kelas. Aku berusaha mendekat
kepada anak yang duduk di samping mejaku.
“Hai!”
sapaku. Namun, anak itu malah menyingkir dariku. Aku berusaha mendekat kepada
teman lainnya, namun, mereka juga melakukan hal yang sama. Aku tertunduk lesu
di mejaku dan bertanya-tanya, mengapa
mereka menjauhiku? Ada yang salah dariku? Aku memilih mengeluarkan ponsel
dari dalam tasku.
“Hai kamu,
anak kota! Apa kamu tidak tahu dengan tata tertib di sekolah ini? Mengapa kau
membawa ponsel dan mengeluarkannya?” seru teman lain.
“Maaf, aku
tidak tahu.” jawabku pelan.
“Dasar anak
kota! Ini sekolah, woy! Bukan ajang pamer ponsel!” serunya lagi.
“Aku tidak
akan mengulanginya lagi, terima kasih atas teguran itu. Tapi maaf untuk
sebelumnya, bukan maksudku untuk pamer, namun aku tidak tahu tata tertib
sekolah ini.” jawabku.
“Halah, kalau
mau pamer juga gak apa sih, bilang saja, tidak usah muna!” suaranya meninggi.
“Riza,
sudahlah! Ia belum mengerti tentang tata tertib sekolah ini. Jangan pakai
emosi, dia juga perlu adaptasi dengan sekolah ini. Toh, nanti Fara akan
mengerti juga.” sahut yang lainnya.
“TER-SE-RAH!”
ucap Riza meninggalkan kelas. Aku segera memasukkan ponselku ke dalam tasku.
Jakarta dan Boyolali, kehidupan yang sangat berbeda.
Sepulang
sekolah, aku mengejar seseorang yang telah membelaku tadi. Aku belum tahu siapa
namanya, nah, sekarang aku akan mencari tahu!
“Eh! Makasih
ya, tadi sudah membelaku. Oiya, namaku Fara. Nama kamu siapa?” tanyaku. Anak
itu menolehku.
“Ya tidak
apa-apa, besok-besok, jangan bawa ponsel ke sekolah lagi, ya? Namaku Luna.”
katanya. Oh, namanya Luna. Aku mengajaknya mengobrol hingga gerbang.
“Ya sudah,
aku pulang dulu, ya? Lagian, kamu juga sudah di jemput.” tunjuknya pada
Bundaku.
“Oh iya, aku
sudah di jemput. Kamu tidak bareng aku?” tanyaku. Ia menggeleng dan berlenggang
pergi. Gadis yang aneh, pikirku. Aku baru masuk ke dalam mobil dan Bunda sudah
menanyaiku tentang gadis yang baru saja bersamaku itu.
“Tadi itu
siapa? Teman barumu? Kok dekil sih? Oiya, hari ini kita hang out ke Solo, ya?
Shopping dan perawatan, Bunda sudah lama tidak memanjakan diri.” katanya. Aku
menghela nafas, yeah, aku harus menuruti perkataan Bunda.
Ibu
memarkirkan mobilnya di area parkir dan mengajakku masuk ke dalam suatu mall.
Ibu tampak asyik dengan gadgetnya, yah, Bunda pasti update status tuh. Tak lama
kemudian, Bunda berlenggang masuk ke suatu perawatan. Hah, aku di tinggal
(lagi) oleh Bunda. Yah, ini adalah kebiasaan Bunda. Bunda selalu tidak sadar,
jika ia meninggalkanku. Paling-paling, selalu berujung ke bidang informasi.
Huh, emang aku dikira anak hilang ya? Daripada aku menggerutu atas kebiasaan
Bunda, lebih baik sih, aku masuk ke toko buku, lumayan, cari ilmu, hehe. Aku
masuk ke tiap-tiap lorong rak buku, aku menemukan sebuah buku yang bercover
cukup tidak menarik untukku. Namun, aku tidak boleh melihat sesuatu dari
covernya, aku tertarik untuk membuka isinya dan ternyata, aku ketagihan! Aku
lupa waktu dan aku baru sadar ketika ada sebuah informasi anak hilang. Ya siapa
lagi, kalau bukan Clara Faradhina. Aku tak rela, jika harus mengembalikan buku
ini ke tempat asalnya. Mm, aku memutuskan untuk membawanya ke kasir dan segera
menuju ke asal suara. Bunda terlihat kalang kabut disana, ketika ia melihatku,
ia langsung memelukku erat.
Hari terus
berlanjut, aku semakin penasaran dengan Luna. Beberapa hari yang lalu, aku
melihat seorang gadis yang persis Luna mengamen di jalanan. Tapi, apakah itu
Luna?
“Bunda, nanti
aku pulang naik kendaraan umum, ya?” tanyaku. Bunda memelototiku dan ia menggeleng.
“Tidak! Kamu
tidak boleh naik kendaraan umum! Nanti, kalau teman Bunda ada yang lihat kamu
naik kendaraan umum, bagaimana?” katanya.
“Istigfar
Bun. Toh, kendaraan terakhir kita juga keranda, Bun. Mobil tidak bisa di bawa
mati, Bun.” kataku. Bunda tidak mendengarkan perkataanku, malah, ia berlalu
meninggalkanku.
“Maafkan
bundaku, ya Allah!” doaku.
Sepulang
sekolah, aku membeli beberapa nasi bungkus di warteg sebelah sekolah. Aku
mengajak Delisa & Rahma untuk ikut membagikan nasi bungkus di sebuah tempat
yang sebelumnya sudah aku survey. Kami mendekat ke gubuk kecil yang reyot,
banyak anak kecil yang menghampiri kami, mereka tergoda dengan bawaan kami.
Mereka berebutan nasi bungkus, walau sudah berkali-kali aku mengingatkan, bahwa
semuanya akan kebagian.
“Mbak, mbak
dari kota ya? Kok baik banget sama kita? Mmm, sering-sering bawain kita nasi
bungkus, ya?” celetuk salah satu anak. Aku terkikik mendengar ucapannya, ya,
sangat lugu. Mulai saat itu, aku sering membawakan mereka makanan dan akrab
dengan mereka. Lebih menyenangkan berbagi dengan mereka daripada menghabiskan
waktu di mall.
“Fara, kita
ke mall, yuk?” ajak Bunda. Aku menggeleng dan seperti biasa, Bunda selalu
memaksaku.
“Maaf Bun,
aku lelah hari ini.” ucapku.
“Akhir-akhir
ini, kamu selalu pulang terlambat dan setiap Bunda mengajakmu ke mall, kamu
selalu mengeluh kelelahan. Kegiatan apa yang membuatmu sibuk akhir ini?”
tanyanya.
“Mm, berbagi
makanan dengan anak jalanan, Bun.” kataku. Ia menarikku ke kamar dan memarahiku
habis-habisan.
“Untuk apa
berbagi dengan anak jalanan? Pekerjaan mereka hanya meminta-minta! Mereka tidak
berusaha!” serunya.
“Kenapa sih,
Bun? Bunda selalu tidak setuju dengan kegiatanku? Memang, apa salahnya berbagi?
Lebih baik berbagi daripada menghambur-hamburkan uang, Bun!” kataku.
“Tahu apa
kamu soal uang? Siapa yang merubahmu seperti ini? Anak dekil itu, ya? Jika kamu
terus bertingkah seperti ini, Bunda akan memindahkanmu sekolah!” ancamnya.
“Maaf Bun,
sebenarnya aku tidak ingin berdebat dengan Bunda. Tapi, aku tidak terima jika
temanku di perlakukan seperti itu. Dia sama seperti kita Bun! Hanya saja,
mereka tak seberuntung kita. Kita harus bersyukur, Bun! Allah kasih kesempatan
ini untuk kita!” ucapku. Untuk kesekian kalinya, Bunda tidak ingin mendengar
ucapanku lagi. Pintu kamar di kunci dari luar, Bunda mengeluarkan mobil dari
garasi dengan lihainya.
“Ya Allah,
beri keselamatan untuk Bunda. Maafkan Fara, ya Allah.” pintaku. Tak lama
kemudian, ponselku berbunyi, telepon dari Ayah! Tumben Ayah menelpon, ada apa? Kok, aku
punya firasat yang tidak enak, ya? Jangan-jangan .. Hmm, jangan biarkan Ayah
menungguku untuk mengangkat teleponnya.
“Halo, Ayah?
Ada apa? Tunggu, mengapa Ayah menangis?”
“Bunda...”
“Bunda? Ada apa,
Yah?”
“Bundamu
ma..suk I-C-U!” Ayah langsung menutup pembicaraan itu. Masih terngiang-ngiang
perkataan Ayah. Bunda, masuk ICU? Argh, ini pasti gara-gara aku! Ahh!! []
***
Merkur 33C Classic Stainless Steel Handle - Titanium
BalasHapusBuy Merkur 33C Classic Stainless titanium key ring Steel Handle - Titanium head titanium ti s6 You can also find a few different products at the dealer online. Rating: 5 trekz titanium · 3 reviews · $59.00 titanium joes · titanium 6al4v In stock