Stay
Young
Oleh
: Tri Agustina
Hari
Selasa kemarin, aku benar-benar mendapatkan suatu kabar yang sangat
mengembirakan. Namaku disebut untuk mewakilkan sekolah dalam lomba paduan suara
bersama 4 teman lainnya, yaitu, Venna, Fahri, Christi, dan Bowo. Kami akan di
latih oleh Bapak Kuncoro, guru Seni Musik di sekolah kami.
Hari
ini, hari Kamis. Hari pertama latihan paduan suara.
“Panggilan
untuk Tania Fitavia, Venna Natasya, Christi Putri, Bowo Setyoaji, dan Fahri
Anhar segera menuju lobby.” suara radio kelas. Guru mempersilahkan aku
meninggalkan kelas dan segera bergabung dengan Venna, Christi, Bowo, dan Fahri.
Kami tinggal di kelas yang berbeda. Aku dari 8F, Christi dan Fahri dari 8A,
Venna dari 8C, dan Bowo dari 8D.
“Anak-anak,
mulai hari ini, kita latihan setiap hari jam 10 di lobby sekolah.” kata Pak
Kuncoro.
“Lomba
akan dilaksanakan kapan, Pak?” tanya Fahri.
“Tanggal
12 April, seminggu lagi.” jawabnya.
“Apa
Pak? Seminggu lagi?” kaget kami bersamaan.
“Iya,
jaga kesehatan dan jaga suara kalian!” ucapnya. Kami mengangguk dan memulai
latihan.
Bel
istirahat berbunyi, Pak Kuncoro membolehkan kami jajan di kantin.
“Eh
Tan, habis ini kembali latihan lagi, kan?” tanya Bowo.
“Iya.
Kenapa, Wo?” tanyaku.
“Kagak,
aku belum kerjain tugas Geografi.” katanya.
“Dasar!
Cari aman lo!” sentak Christi. Kami berlima cekikikan sepanjang jalan menuju
kantin. Tak terasa, sudah 15 menit. Bel masuk sudah berbunyi, kami segera
menuju lobby untuk latihan lagi.
Hari
terus berlalu, hingga akhirnya, besok adalah hari perlombaan.
“Ya Allah, semoga kami juara pertama, amin!”
doaku.
Di
tempat perlombaan, sudah banyak siswa-siswi yang hadir. Kami mendapat urutan
ke-8. Tak lama kemudian, nomor urutan kami dipanggil dan kami segera masuk ke
dalam ruangan. Setelah usai, kami keluar dan menanti pengumuman kejuaraan.
“Juara pertama di raih oleh SMP ...
Mahardika!”
“Alhamdulillah!
Ya Allah, terima kasih!” sujudku. Bowo pergi menuju panggung dan menerima
piala.
***
Aku
di wakilkan oleh sekolah untuk mengikuti lomba solo vokal putri dan Fahri yang
mewakilkan solo vokal putra. Kami di antar oleh Pak Kuncoro, Bu Endah, dan Bu
Vera ke tempat perlombaan. Pada lomba kali ini, aku mendapat urutan pertama dan
Fahri mendapat nomor 4. Berbeda dari lomba sebelumnya, kini, aku masuk ke dalam
ruangan sendirian, tanpa Venna, Christi, Fahri, dan Bowo. Pengumuman pemenang
akan diumumkan esok hari.
Esok
harinya, teman-teman menanyaiku tentang juara. Namun, aku tak bisa menjawabnya,
karena aku belum mengetahui. Hari ini ada apel, tanpa persiapan, aku dan Fahri
di tunjuk untuk bernyanyi di depan anak kelas 7 hingga 9.
“Bagaimana
suara teman, kakak, dan adik kalian?” seru Bu Luna.
“Luar
biasa!” sorak kelas 7 hingga 9.
“Kemarin,
mereka mewakilkan sekolah dalam perlombaan solo vokal dan hasilnya ... Mereka
juara pertama! Dan mereka akan mengikuti lomba tingkat provinsi!” serunya yang
di ikuti sorak sorai siswa.
“Ya Allah, terima kasih. Atas kepercayaanmu,
ini.”
Seusai
apel, aku dan Fahri menuju tempat perlombaan.Yeah, untuk mengambil piala dan
uang bimbingan.
***
Hari
ini, terasa melelahkan. Seperti biasa, aku menunggu bapak untuk menjemputku di
sekolah. Namun, tak seperti biasanya, bapak tak membawakanku helm.
“Pak,
nggak bawa helm?” tanyaku. Bapak menggeleng. Aku menghela nafas dan segera
duduk di belakang bapak. Saat ada tikungan, bapak membelok kiri, tapi dari
sebelah kanan, ada motor yang berkecepatan tinggi.
“Bapak,
awas!” teriakku. Aku terjatuh dari peganganku dan aku merasa, kepalaku membentur
jalan. Kepalaku sakit sekali dan lama-kelamaan mataku menutup.
***
“Bapak? Ibu? Aku dimana?” tanyaku.
Namun, tidak ada jawaban dari mereka.
“Pak Bu, kok diam saja?” tanyaku.
Lagi-lagi, bapak dan ibu tidak menyahut pertanyaanku. Aku mencoba menyentuh mereka,
namun, aku tak dapat merasakan. Aku bangkit dari ranjangku.
“Lhoh, anak yang tidur di ranjang
itu kan, aku?! Lalu, aku siapa?” aku langsung melihat
sekujur tubuhku. Aku bangkit tanpa ragaku? HAH?!
“Bapak Ibu, Tania disini...” isakku.
Mereka tidak mendengarku, menoleh ke arahku saja tidak. Benda-benda yang aku
sentuh, semuanya tembus pandang. Apakah aku hantu? Aku mencoba kembali ke
ragaku dan mencoba membuka mata. Namun, aku tak dapat menggerakkan ragaku.
“Ya Allah, apa yang terjadi? Aku
masih menginginkan hidup di dunia ini bersama ragaku. Ya Allah, jangan pisahkan
kami, aku dan keluarga serta sahabat-sahabatku. Ya Allah, aku belum siap ...”
isakku.
“Tania!
Maafkan bapak! Ini salah bapak! Bapakmu sudah jahat!! Bapak seperti apa, aku
ini?” teriak bapak. Aku menangis dalam raga yang rasanya sudah mati. Perih
rasanya, namun apa boleh buat, mungkin, hidupku tinggal menghitung hari, atau
mungkin menit.
“Ya Allah, aku ingin bangun.
Mengusap air mata ibu dan bapakku. Memeluk mereka. Membahagiakan mereka.
Menemani mereka. Dan masih bisa berkata, ibu bapak, aku masih di sini.”
***
Hari
berikutnya, aku masih di ranjang dengan perban di kepala, oksigen di hidung,
dan infus di tangan. Masih sama seperti hari kemarin, aku tetap tidak bangun
bersama ragaku. Terlihat, ada Fahri,
Venna, Christi, dan Bowo di luar pintu. Mereka masuk dan bergantian dengan
orang tuaku.
“Tania,
bangun sayang. Bangun. Aku kangen kamu.” bisik Venna.
“Tan,
ini aku bawakan bunga mawar kesukaan kamu. Cepet bangun, cepet sekolah, aku kangen
canda kamu.” ucap Fahri.
“Temen-temen, aku kangen kalian!!
KANGEN! Tapi rasanya, aku sudah tidak bisa bersama kalian lagi. Maafkan aku...
Walau aku tahu, kalian tak dapat mendengar suaraku.”
ucapku.
Sore
harinya, aku melihat kabut hitam dan jubah hitam. Mungkinkah ia izroil?
Mungkinkah ia akan datang kepadaku? Dan, aku akan meninggalkan dunia ini,
selamanya? Jauh dari ibu, bapak, dan sahabat-sahabatku?
Apakah aku siap? Kabut hitam serta jubah hitam benar-benar mendatangiku. Aku
takut! Rasanya, aku ingin kabur dan bersembunyi. Namun, aku tak dapat berlari
dan bersembunyi lagi. Karena aku tahu, inilah saatnya.
***
Saat
pemakamanku, Ibu pingsan tak kuasa menahan tangis. Bapak masih menyalahkan
dirinya saat kejadian kecelakaan itu. Fahri, dia orang terlama dan terakhir
yang menantiku di pemakaman.
“Selamat tinggal semuanya. Tetap
jalani hari kalian tanpa Tania, ya. Tania masih disini kok, iya, di hati
kalian. Tania sayang kalian, Ibu, Bapak, Fahri, dan semuanya!! Maafkan
perbuatan Tania dan thanks for everything! Love you, guys!! Dadaah...” []
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar