Senin, 07 April 2014

Cerpen FLS2N 2014 - Kab. Boyolali



PUNK
Oleh : Tri Agustina


Setelah melewati 7 jam perjalanan, kereta berhenti di stasiun Balapan. Ya, stasiun tujuan dan kota singgahan yang tak menjadi tujuanku sebelumnya. Aku menginjakkan kaki di tanah Surakarta dan menghirup oksigen pertama kalinya di kota ini. Mataku terus mencari seorang wanita paruh baya, yang kata Mama akan menjemputku dan menjagaku nanti. Pandanganku menyebar ke semua penjuru di stasiun ini, tidak ada tanda-tanda orang yang mengenalku. Aku memilih duduk di bangku yang sudah cukup penuh untuk mengisi kekosongan bangku tersebut. Aku merogoh handphone yang sebelumnya aku taruh di kantungan jaket jeans yang saat ini aku genakan. Aku menancapkan kabel earphone dan menempelkannya pada telinga. Tanpa ku sadari, sudah ada wanita paruh baya yang berdiri di depanku. Aku melepas earphoneku dan mendongakkan kepalaku padanya.
“Bibi, utusan Mama saya?” tanyaku.
“Iya Non, maaf ya Non, Bibi terlambat datang ke stasiun,” jawab Bibi itu. Lalu, Bibi tersebut membawakan koper serta ranselku keluar dari stasiun.
“Bi, parkirannya dimana?” tanyaku.
“Kok parkiran, Non?” bingung Bibi.
“Taxi ya, Bi?” tanyaku.
“Duh, Non Cindy gimana sih? Kan kita ngebis,” jawab Bibi.
“Kok ngebis sih, Bi?” heranku.
“Iya, kan Boyolali jauh, Non,” kata Bibi yang terus melangkah di depanku.
“Bi, kita naik taxi aja! Cindy yang bayarin, deh,” kataku sambil merogoh kantungan celana belakang. “Dompet gue, kemana ya?” batinku.
“Gimana Non?” tanya Bibi memastikan.
“Ya udah, ngebis aja deh, Bi,” jawabku. Sial! Dompet gue ilang! Aku mengikuti Bibi dengan langkah gontai. Selama di perjalanan, aku menjebol semua sosial mediaku; Facebook, Twitter, Path, dll.
“Non, sebentar lagi kita turun,” kata Bibi. Bibi bangkit dari kursinya dan mendekat ke bibir pintu, aku mengekornya. Bis berhenti di sebuah rumah besar yang elok. Aku turun dan segera bersandar pada gerbang rumah itu.
“Ayo Non,” kata Bibi, namun langkah Bibi berlawanan dengan tanah yang aku injak.
“Lhoh, mau kemana Bi?” tanyaku.
“Naik bis lagi, Non,” kata Bibi.
“Naik bis lagi, Bi? Lhoh, mau kemana?” tanyaku.
“Kita kan belum sampai, Non,” kata Bibi yang terus melanjutkan langkahnya ke arah utara. Dengan langkah terseret, aku mengekor di belakang Bibi. Bibi memberhentikan bis dan menyuruhku untuk masuk terlebih dahulu. Tak lama kemudian, aku kehilangan sinyal internet. Sial!
“Bi, disini enggak ada sinyal, ya?” tanyaku.
“Enggak Non,” jawab Bibi. Aku sangat merasa bosan atas kehilangan sinyal. Aku memilih meletakkan kepalaku di dekat jendela dan melihat hal-hal yang terlintas begitu saja, cukup menyenangkan. Bibi mengajakku turun di pemberhentian bis terakhir.
“Ayo, Non. Kita jalan ke bawah,” kata Bibi sambil menunjuk ke sebuah pedesaan yang terletak di lembah. 
“Di bawah, ada sinyal, Bi?” tanyaku.
“Haha, jelas enggak ada lhah Non. Ini kan desa, bukan kota dan bukan Jakarta,” jawab Bibi.
            Sesampainya di rumah Bibi, aku langsung naik ke atap genting.
            “Non, ngapain naik genting?” teriak Bibi.
            “Cari sinyal, Bi!” jawabku.
            “Percuma Non, enggak ada sinyal di daerah ini,” jawabnya. Aku tak menghiraukan perkataan Bibi, aku masih memilih bertahan di atas genting. Di atas genting, aku dapat melihat siapa saja yang akan pergi ke desa. Aku melihat ke arah bukit, tampak seorang anak laki-laki yang berpenampilan ‘punk’ akan pergi ke desa. Aku cepat-cepat turun dari genting, lalu menyembunyikan diri dan terus memantau anak punk tersebut.
            “Bi, itu siapa?” tunjukku.
            “Oh, itu Huda. Kenapa?” tanya Bibi.
            “Penampilannya bikin ngeri, Bi,” kataku.
            “Iya, dia anak punk. Jangan deket-deket sama dia, ya!” kata Bibi. Aku mengangguk dan menuruti Bibi. Bibi berlalu pergi masuk ke dapur. Aku mengembalikan badan dan aku sungguh terkejut, anak punk itu sudah berada di depanku, ya, TEPAT DI DEPANKU!
            “Hei, kamu anak baru, ya? Tadi, naik genting ya? Wah ..,” serunya. Aku mundur beberapa langkah, ada rasa ngeri yang tak tertahankan.
            “Hm, jangan takut. Aku enggak seperti yang kamu kira kok. Kenalin, namaku Huda,” ucapnya. Rasa ngeri yang aku tahan sedari tadi, lama-kelamaan pudar. Apalagi, setelah Huda memainkan ukulelenya dan menyanyikan sebuah lagu nasional dengan aransemennya.
            “Wih, suaramu ajib banget, aransemenmu juga we o we!” pujiku. Ia tertawa kecil.
            “Aku ajarin dong! Tapi, jangan di sini, ya? Takutnya ketahuan Bibi,” jawabku. Ia mengangguk dan mengajakku ke bukit dekat batu besar.
            “Eh, Cin. Tau judul lagu ini, enggak?” tanya Hudasambil memetikkan ukulelenya. Aku menggeleng dan menjawab, “Aku nggak pernah denger lagu beginian. Ini lagu apa?”
            “Ini lagu daerah Jawa Tengah, judulnya, Suwe Ora Jamu,” jawabnya. Aku ternga-nga dan di telingaku menggema kata ‘Suwe Ora Jamu’.
***
Keesokkan harinya, aku duduk bersantai di teras depan rumah Bibi. Aku melihat Huda dengan penampilan punknya yang akan pergi menuju terminal.
“Huda!” panggilku. Ia menoleh dan berlari kecil mendekatiku.
“Kamu mau kemana?” tanyaku.
“Ke kota, mau kerja,” jawabnya.
“Ah, aku ikut kerja dong. Aku kangen kota, nih,” ucapku. Ia bingung dan akhirnya menggeleng.
“Yah, kok gitu? Kenapa?” ucapku kecewa.
“Kamu kan anak kota, nggak biasa panas-panasan buat ngecari uang,” katanya. Aku terdiam, ada benarnya juga perkataan Huda, tetapi, sepintas alasan terpikirkan olehku.
“Waktu kamu kerja, aku jalan-jalan di mall deh,” seruku. Aku meyakinkannya sehingga ia terpojokkan, ia mengangguk dan aku bersorak kegirangan. Aku meminta izin pada Bibi, walaupun awalnya, Bibi tidak mengizinkan, tapi, dengan rayuan dahsyatku, Bibi mengizinkan dan membawakanku beberapa lembar uang berwarna biru. Yeah, kota … AKU DATANG!
Huda berjalan di belakangku dengan menyelempengkan tas di bahunya serta memetikkan ukulelenya, dan sesekali melirikku.  
“Kenapa Hud?” tanyaku. Ia menggeleng dan kemudian ia masuk ke dalam suatu toko.
“Kamu di luar aja ya, aku cuma bentar kok,” jawabnya. Aku menurutinya dan aku menunggu di batu besar. Sekitar 10 menit, ia keluar dari rumah itu dengan membawa botol minuman.
“Wah, kamu tahu aja, kalau aku lagi haus,” kataku sambil menyambar botol minumannya. Aku membuka botol minuman dan segera meneguknya, tidak ada 5 detik, aku langsung memuntahkannya, “Minuman apa, ini? Kok rasanya pahit banget?!”
“Hehe, itu minuman ramuan yang dibuat Ibuku sendiri. Maaf ya, kalau kamu mau minum, aku beliin deh,” katanya sambil mengambil botol minumannya. Lalu, ia mengajakku membeli minuman dan membayarkan minuman yang aku pilih.
“Eh, itu ada bis yang mau ke kota, tuh!” tunjuk Huda. Aku berlari mengikuti Huda dan masuk dengan setengah melompat. Saat perjalanan, aku mengeluarkan handphoneku.
“Kamu bawa handphone?” tanya Huda melihat handphoneku.
“Iya, kenapa?” tanyaku. Ia menggeleng dan berucap, “Hati-hati, di kendaraan umum banyak pencopet dan kejahatan lainnya.” Aku mengangguk dan memasukkan handphoneku.
Sejam kemudian, kami turun di sebuah halte. Beberapa langkah dari halte, Huda memberhentikan langkahnya pada sebuah sekolah yang sedang mengadakan upacara bendera.
“Ngapain berhenti?” tanyaku. Ia tak meperdulikanku dan segera menaikkan tangannya untuk hormat.
“Hush, merah putih sedang dibentangkan dan akan dikerek ke puncak. Kamu harus hormat!” ucapnya. Aku menoleh dan mengikuti sikap Huda.
“Di kota, setiap hari Senin upacara?” tanya Huda sambil melanjutkan langkahnya.
“Jelaslah, upacara itu kan hal rutin yang acaranya ngebosenin mulu,” jawabku. Huda tersentak dan memandangku dengan tatapan tak mengenakkan.
“Kamu tuh, harusnya bersyukur, tau! Gak semua orang bisa kaya kamu!” bentaknya seraya mempercepat langkahnya meninggalkanku. Aku mengejarnya hingga di depan mall.
“Udah, sekarang kamu masuk mall aja! Nanti sekitar jam 2, aku balik kesini dan harapanku, kamu juga udah nunggu disini!” ucapnya dengan nada tinggi. Belum sempat aku membuka mulut, Huda sudah berlalu pergi meninggalkanku. Ia benar-benar tak menghiraukanku.
Apa ucapanku ada yang salah?” pikirku. Aku memutuskan untuk mengikutinya diam-diam, ia masuk ke sebuah warung dan sekitar 20 menitan, ia keluar dari pintu sebelah warung dengan membawa piring-piring kotor, ia mencucinya. Dari kejauhan, ada bapak-bapak yang sepertinya memanggil Huda dan mereka membicarakan sesuatu. Huda kembali menyelesaikan piring-piring kotornya dan setelah selesai, Huda mendekat kepada bapak-bapak itu dengan membawa sikat dan semir. Kemudian, Huda membersihkan sepatu bapak itu dan sesekali mengelap sepatu itu dengan kaos yang ia genakan. Aku ternganga melihat pekerjaannya yang serabutan, ia benar-benar tak sekedar anak punk. Aku mengambil handphone dari celana jeansku dan mengambil fotonya yang sedang menyemir sepatu. Seusai menyikat sepatu bapak tersebut, ia kembali membersihkan piring-piring kotor. Tak lupa, aku segera mengambil fotonya. Di kala senggang, Huda mengisi waktunya untuk menyanyikan lagu nasional dengan aransemennya. Ibu warung datang menghampiri Huda dengan membawakannya sapu, Huda segera memberhentikan aktivitasnya dan segera menyapu. Mumpung baterai handphone masih cukup, aku mengambil fotonya lagi. Huda melirik ke arahku, namun, aku sudah bersembunyi terlebih dahulu di balik semak-semak. Syukurlah …  Aku melirik ke arlogiku, jarum panjang menunjuk angka 12 dan jarum pendek menunjuk angka 10. Aku bergegas meninggalkan semak-semak dan berlalu pergi menuju mall.
Setelah puas mencuci mata, aku masuk ke sebuah toko pakaian. Aku mengambil 3 pakaian untuk Bibi, aku, dan Huda dan membayarkannya ke kasir. Aku melihat arlogiku, sudah hampir pukul 2. Aku bergegas membeli makanan dan keluar dari mall. Huda sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian lain, tapi satu hal yang sama, masih punk dan tetap nge-punk.
“Huda, maaf ya soal tadi,” lirihku. Ia mengangguk.
“Oiya, kamu udah makan?” tanyaku.
“Hm, belum sih. Tapi bentar ya, aku belum sholat dzuhur. Sholat yuk!” aku terbelalak, selama ini, tidak ada yang mengingatkanku tentang sholat. Mama sibuk dengan pekerjaannya. Papa di luar negri. Kak Intan dengan dunianya. Kami masuk ke dalam masjid, banyak tatapan sinis dari orang-orang masjid. Huda tak memperdulikannya dan bergegas mengambil air wudhu, aku risih oleh berpasang-pasang mata yang memperhatikan kehadiran Huda. Seorang laki-laki yang lebih tua mendekat kepadaku dan berucap, “Neng, cantik-cantik kok, mainnya sama anak begajulan, sih?” Untung saja, aku masih bisa mengendalikan emosiku.
“Hehe, maaf ya kak. Saya main sama orang yang enggak dilihat dari penampilannya, tapi perilaku dan budi pekertinya,” ucapku dan berlalu meninggalkan orang tersebut. Aku mengambil air wudhu dan subhanallah airnya menyegarkan. Aku kembali ke masjid dan bergegas mengambil mukena dari rak yang sudah disediakan. Huda menjadi imam dan aku menjadi makmumnya. Mereka terkesima melihat Huda si anak berpenampilan punk yang sholat, apalagi menjadi seorang imam. WAH! Seusai sholat, aku melipat mukenaku dan mengembalikannya ke rak sebelumnya. Orang-orang masih dikejutkan oleh kedatangan Huda, hingga pandangan mereka tak lepas dari Huda yang keluar dari masjid.
“Huda, makan yuk? Aku tadi beli ini,” jawabku, Huda menepi dan aku menyodorkannya sebungkus makanan. Tiba-tiba, seorang nenek datang kepada kami dengan langkah tertatih.
“Cu, minta cu. Nenek belum makan dari kemarin,” lirih nenek tersebut.
“Maaf nek, makanan kita cuma dua,” ucapku. Raut muka nenek yang semula mempunyai harapan, sekarang berubah menjadi tak ada harapan.
“Cindy, kamu nggak boleh gitu,” ucap Huda.
“Ini nek, buat nenek aja, di makan ya, nek,” serah Huda pada nenek itu. Nenek tersebut mengucapkan banyak terima kasih kepada Huda dan berlalu meninggalkan kami. Aku terdiam dan memasukkan bungkus makanan yang belum sempat aku makan ke dalam plastik.
“Kok enggak dimakan?” tanyanya.   
“Kamu nggak makan sih,” kataku.
“Duh, maaf ya Cin. Aku kasihan sama nenek tadi, kasihan kan, belum makan dari kemarin. Sedangkan aku, udah makan tadi pagi,” jawabnya. Aku mengangguk dan kepikiran sesuatu.
“Huda, kamu kenapa berpenampilan punk sih? Padahal kan, penampilan itu dapat menciri khaskan watak orang tersebut. Kamu juga kenapa bohong sama warga sekitar tentang pekerjaanmu? Aku tau kok pekerjaanmu, nggak sengaja, waktu kamu ninggalin aku di depan mall tadi, aku membuntutimu dan melihat aktivitasmu,” kataku.
“Hah? Kamu salah orang mungkin,” kata Huda menyangkal. Aku mengeluarkan handphone dari celana jeansku dan membuka galeri, aku memperlihatkan apa yang aku foto tadi. Huda menelan ludah dan ia berkata, “Aku kangen sekolah. Aku … kerja serabutan untuk membayar sekolah. Setahun yang lalu, pihak sekolah mengeluarkanku karena aku tidak mampu membayar sekolahku. Awalnya, aku ngikut anak-anak pengamen terminal. Tapi, setelah aku pikir-pikir, meminta-minta itu bukan pekerjaan yang patut. Aku malu, mengapa aku tidak mencari pekerjaan selain meminta-minta? Sejak saat itu, orang desa mengenalku sebagai anak punk jalanan. Walaupun sering kali aku mengelak dan meyakinkan bahwa aku bukanlah anak punk jalanan. Ya, mau gimana lagi?” Aku terperanjat mendengar ceritanya.
“Kamu, kangen sekolah?” tanyaku. Ia mengangguk.
“Iya, aku kangen sekolah. Kangen bendera merah putih, kangen jadi pengibar bendera, kangen ngelihat merah putih yang berkibar saat aku mengerek talinya. Aku kangen dan aku kangen banget,” Aku tertegun. Selama ini, aku selalu anti dengan upacara bendera dan meremehkan sekolah. Padahal, diluar sana atau di dekatku saja, ada orang yang ingin sekali sekolah dan menyaksikan berkibarnya sang merah putih. Hm, cita-cita yang dianggap sebelah mata oleh sebagian orang, ternyata menjadi impian terbesar oleh sejuta umat.
[FLS2N.KAB.2014]

3 komentar:

  1. Hai! Ikut FLS2N juga? Cerpen kamu yang ini dapet juara gak?
    Kenalin aku Tami, perwakilan FLS2N 2014 tingkat Nasional dari Provinsi Jambi^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hallo, juga! Hehe, harapan 3 sih :v
      Oke, salam kenal yaks ;)

      Hapus
    2. Salam kenal juga
      Maaf kelamaan jawabnya, buka blog cuma nge-post doang soalnya
      Hehee... aku mau jadi temenmu, ada fb atau twitter gak? Add aku ya Inneke Utami kalau ada twitter follow aku di @innekeutami09 aku folback kok, mention aja;;)
      Seneng kenalan sama kamu

      Hapus