Sabtu, 16 November 2013

Cerpen Tupperware 2013


Aku dan Pengalamanku
Oleh : Tri Agustina

Matahari menarikku untuk turun ke jalanan, namun, aku tak sendiri. Aku ditemani oleh asap, deru kendaraan, sepeda, dan bayanganku. Coba saja buku tulisku tidak habis, aku pasti enggan keluar rumah. Aku keluar rumah dengan menggunakan kaos, celana, dan sepatu. Aku mengambil sepeda alias ontel di garasi, aku lebih menyukai menggunakan ontel ketimbang motor. Mengapa? Alasanku adalah, yang pertama, karena aku belum mempunyai SIM dan yang kedua yang paling penting, aku ingin membudidayakan hidup sehat, dengan cara mengurangi pemakaian asap kendaraan, lagipula, jika aku menggenakan motor, sama saja dengan membuang asap, padahal asap tersebut dapat mempercepat kematian orang. Asap kendaraan ini mengandung gas karbondioksida, gas ini beracun bagi manusia. Aku mengayuh sepedaku, jalan tampak ramai karena dipenuhi dengan kendaraan bermesin. Untung saja, aku tidak lupa menyelipkan masker ke kantung celanaku, jadi, aku bisa menggenakannya dan ada ruang untuk terbebas dari gas berbahaya tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu, Nak?” sapa pelayan toko tersebut.
“Saya mencari buku tulis, Pak.” kataku. Pelayan tersebut masuk ke etalasenya, ia mengambilkan buku untukku.
“Mau ambil berapa, Nak?” tanyanya. Aku mengacungkan 5 jari. Ia menghitung total belanjaku dan aku memberikan selembar uang 20ribu.
“Tidak usah menggunakan plastik, Pak. Saya punya keranjang di ontel saya. Terima kasih.” jawabku santun.  Bapak itu ter-oh dari tolakanku menggunakan plastik. Aku kembali melalui jalan yang sama dan beberapa menit setelah itu, aku sampai di rumah. Tampaknya, bunda sudah sampai di rumah.
“Assalamualaikum..” kataku. Bunda membukakan pintu dan menjawab salamku.
“Bunda punya sesuatu buat Zahra lho, Bunda harap, Zahra suka.” ucap Bunda. Aku mengernyitkan dahi, bunda mengeluarkan botol minuman berwarna oranye dengan merk Tupperware.
“Alhamdulillah, terima kasih Bunda! Ini botol minum Tupperware yang selama ini aku idam-idamkan! Satu-satunya botol plastik yang mempunyai kualitas tinggi.” jawabku.
Esoknya, aku bangun pagi-pagi. Aku ingin membantu bunda menyiapkan sarapan.
“Bunda, botol minuman ini, boleh aku bawa ke sekolah hari ini, kan?” tanyaku. Bunda mengangguk. Setelah semuanya siap, aku pamit kepada bunda, meminta restunya hari ini. Aku berjalan menuju sekolah, aku melewati jembatan dan aku melirik kali tersebut. Masya allah, ini sungai atau tempat akhir pembuangan sampah ya? Aku tertegun dan segera melanjutkan perjalanan ke sekolah.
“Zahra, hari ini ada ulangan ya?” sapa Zenni. Aku mengangguk. Zenni berlari dahulu menuju kelas. Sesampainya di kelas, ia tampak belajar dan mencorat-coret kertas demi kertas dan lalu membuangnya ke tempat sampah.
“Zen, kamu sedang apa? Kok sepertinya sedari tadi kamu sibuk sekali.” tanyaku.
“Aku sedang mencoba mengerjakan latihan ini Ra.” katanya.
“Ooh begitu, biasanya kamu ngehabisin buku untuk coret-coretan ya?” tanyaku.
“Iya Ra, 1 latihan saja bisa menghabiskan 1 buku.” jawabnya.
“Kalau menurutku, bisakah kamu memperkecil coretanmu? Sehingga tidak memboroskan buku. Semakin banyak penggunaan kertas, semakin panas juga dunia ini.” kataku. Zenni melirik dan melanjutkan kesibukannya. Aku memilih untuk menyingkir, karena sepertinya dia sedang sensitif.
“Ra, ini botol minum kamu ya? Harganya berapa? Beli dimana? Kok bagus sih? Bisa dipakai berulang-ulang lagi.” ucap Luna yang langsung menyanyaiku bertubi-tubi itu.
“Bunda yang membelikannya, jadi aku tidak tahu. Iya, tupperware ini bisa dipakai berulang-ulang dan ramah lingkungan.” jelasku.
“Ra, kalau bundamu mau beli, aku titipin 1 dong, yang warna biru muda.” kata Luna. Teman-teman yang lain tampaknya menguping pembicaraan kami dan mereka pun ikut mendekat. Alhasil, mereka tertarik dan berniat untuk memesan botol minuman ini kepada bunda. Alhamdulillah, karena tupperware, aku jadi dekat dengan teman-teman, hoho. Bel masuk berbunyi, semuanya bubar dan mereka langsung mempersiapkan kertas putih bersih. Aku mengeluarkan kertas yang sebaliknya sudah ada tulisan-tulisan. Selagi masih ada ruang untuk menulis, kenapa tidak? Hehe. Soal dibagikan dan kelas pun hening. Waktu habis, semua lembar jawab dikumpulkan. Aku mengumpulkan yang pertama kali, hal itu yang membuat guru melihat-lihat tulisanku.
“Kenapa kamu mengerjakan di lembar bekas, Zahra Maudina?” tanya guru.
“Biar hemat bu, tapi itu kan terlalu hemat kan bu?” celoteh Zenni.
“Ibu bertanya ke Zahra, bukan ke Zenni!” sergah guru tersebut. Zenni menelan ludah dan tersenyum manyun.
“Ya bu, yang dikatakan oleh Zenni itu benar.” kataku.
“Bagus. Anak-anak, tirulah perbuatan Zahra ya! Selain hemat, kalian juga akan lebih mencintai lingkungan.” jelas guru tersebut. Beberapa menit kemudian, teman-teman mengumpulkan lembar jawab mereka dan guru yang bernama Ibu Siwi ini keluar. Aku menghampiri Zenni, namun ia malah menjauh. Sepertinya ia kesal kepadaku.
“Hei Ra! Aku pikir, kamu sangat mencintai lingkungan. Hmm, hal apa yang membuatmu cinta dengan lingkungan sih?” tanya Manda.
“Ya dunia ini. Aku mencintai nyawaku, nyawamu, dan nyawa semua orang.” kataku.
“Maksud kamu apa Ra?” tanya Manda.
“Tanpa lingkungan, apa kamu bisa hidup?” tanyaku.
“Bisa, kan Allah yang membuat kita hidup.” jawabnya.     
“Apa yang membuatmu merasa bebas? Kenyang? Puas?” tanyaku.
“Bebas itu dunia, kenyang itu makanan, dan puas itu ...........” Manda terdiam.
“Puas itu adalah apa yang kamu rasakan sekarang. Puas tidak? Jika kamu bisa ngelihat orang yang kamu sayangi masih di dunia ini? Puaskah kamu masih bisa hidup di umur sekarang? Oke maaf, aku memang punya masalah dengan lingkungan, dan itu tidak hanya sekali dalam hidupku.” kataku.
“Maaf ya Ra, kalau boleh tahu, apa yang membuatmu seperti ini?” tanyanya.
“Aku tidak mau kehilangan orang-orang yang aku sayangi untuk kesekian kalinya. Ayahku adalah seorang polisi hutan, setiap 3 jam sekali ayah patroli mengitari hutan. Pada suatu hari, ia melihat segerombolan orang membakar hutan. Saat ia mencoba memadamkan api tersebut, api tersebut malah menyambar ke pohon-pohon. Malapetakanya, ia terjebak di antara pohon-pohon tersebut dan ... Ia ditemukan tewas. Aku tak tahu, apa yang diinginkan oleh orang-orang itu. Ya, mungkin ini adalah peringatan oleh Allah untuk kita agar kita sadar dengan lingkungan. Lingkungan juga mempunyai hati, ingin dihargai dan disayangi.” kataku.
“Ra... Aku baru sadar. Terima kasih ya, Ra. Ayahmu pasti bangga mempunyai anak sepertimu. Oiya, maksudmu dengan kata ‘tidak hanya sekali dalam hidupku’ itu apa ya?” ujarnya. Aku tersenyum.
“Kakakku juga meninggal karena terlalu sering keluar dan terlalu sering menghirup udara diluar sana. Ia menderita kanker paru-paru.” jawabku. Manda ternganga.
“Ra, yang tabah ya. Kalau aku jadi kamu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu. Terus, yang akan kamu lakukan sekarang apa?” tanyanya.
“Mematikan lampu dan mematikan AC.” jawabku.
“Haah? Ya panas dong! Nanti kalau keringetan gimana?” seru Ghina yang diikuti teman lainnya.
“Masih mending kan? Kalau kalian masih bisa berkeringat. Itu tandanya kalian sehat. Kata siapa kalian akan gerah? Buka saja jendelanya, kalian juga akan ngerasain gimana segarnya udara alam.” sahut Manda. Mereka terdiam. Alhamdulillah, Manda sudah sadar dengan pentingnya lingkungan. Kalau kalian, kapan? Buktikan dong, kalau kalian cinta dengan nyawa kalian B-) Katakan tidak untuk GLOBAL WARMING! ^^ []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar