Sabtu, 16 November 2013

Cerpen Majalah


Stay Young
Oleh : Tri Agustina



Hari Selasa kemarin, aku benar-benar mendapatkan suatu kabar yang sangat mengembirakan. Namaku disebut untuk mewakilkan sekolah dalam lomba paduan suara bersama 4 teman lainnya, yaitu, Venna, Fahri, Christi, dan Bowo. Kami akan di latih oleh Bapak Kuncoro, guru Seni Musik di sekolah kami. 
Hari ini, hari Kamis. Hari pertama latihan paduan suara.
“Panggilan untuk Tania Fitavia, Venna Natasya, Christi Putri, Bowo Setyoaji, dan Fahri Anhar segera menuju lobby.” suara radio kelas. Guru mempersilahkan aku meninggalkan kelas dan segera bergabung dengan Venna, Christi, Bowo, dan Fahri. Kami tinggal di kelas yang berbeda. Aku dari 8F, Christi dan Fahri dari 8A, Venna dari 8C, dan Bowo dari 8D.
“Anak-anak, mulai hari ini, kita latihan setiap hari jam 10 di lobby sekolah.” kata Pak Kuncoro.
“Lomba akan dilaksanakan kapan, Pak?” tanya Fahri.
“Tanggal 12 April, seminggu lagi.” jawabnya.
“Apa Pak? Seminggu lagi?” kaget kami bersamaan.
“Iya, jaga kesehatan dan jaga suara kalian!” ucapnya. Kami mengangguk dan memulai latihan.
Bel istirahat berbunyi, Pak Kuncoro membolehkan kami jajan di kantin.
“Eh Tan, habis ini kembali latihan lagi, kan?” tanya Bowo.
“Iya. Kenapa, Wo?” tanyaku.
“Kagak, aku belum kerjain tugas Geografi.” katanya.
“Dasar! Cari aman lo!” sentak Christi. Kami berlima cekikikan sepanjang jalan menuju kantin. Tak terasa, sudah 15 menit. Bel masuk sudah berbunyi, kami segera menuju lobby untuk latihan lagi.
Hari terus berlalu, hingga akhirnya, besok adalah hari perlombaan.
Ya Allah, semoga kami juara pertama, amin!” doaku.
Di tempat perlombaan, sudah banyak siswa-siswi yang hadir. Kami mendapat urutan ke-8. Tak lama kemudian, nomor urutan kami dipanggil dan kami segera masuk ke dalam ruangan. Setelah usai, kami keluar dan menanti pengumuman kejuaraan.
Juara pertama di raih oleh SMP ... Mahardika!
“Alhamdulillah! Ya Allah, terima kasih!” sujudku. Bowo pergi menuju panggung dan menerima piala.
***
Aku di wakilkan oleh sekolah untuk mengikuti lomba solo vokal putri dan Fahri yang mewakilkan solo vokal putra. Kami di antar oleh Pak Kuncoro, Bu Endah, dan Bu Vera ke tempat perlombaan. Pada lomba kali ini, aku mendapat urutan pertama dan Fahri mendapat nomor 4. Berbeda dari lomba sebelumnya, kini, aku masuk ke dalam ruangan sendirian, tanpa Venna, Christi, Fahri, dan Bowo. Pengumuman pemenang akan diumumkan esok hari.
Esok harinya, teman-teman menanyaiku tentang juara. Namun, aku tak bisa menjawabnya, karena aku belum mengetahui. Hari ini ada apel, tanpa persiapan, aku dan Fahri di tunjuk untuk bernyanyi di depan anak kelas 7 hingga 9.
“Bagaimana suara teman, kakak, dan adik kalian?” seru Bu Luna.
“Luar biasa!” sorak kelas 7 hingga 9.
“Kemarin, mereka mewakilkan sekolah dalam perlombaan solo vokal dan hasilnya ... Mereka juara pertama! Dan mereka akan mengikuti lomba tingkat provinsi!” serunya yang di ikuti sorak sorai siswa.
Ya Allah, terima kasih. Atas kepercayaanmu, ini.”
Seusai apel, aku dan Fahri menuju tempat perlombaan.Yeah, untuk mengambil piala dan uang bimbingan.
***
Hari ini, terasa melelahkan. Seperti biasa, aku menunggu bapak untuk menjemputku di sekolah. Namun, tak seperti biasanya, bapak tak membawakanku helm.
“Pak, nggak bawa helm?” tanyaku. Bapak menggeleng. Aku menghela nafas dan segera duduk di belakang bapak. Saat ada tikungan, bapak membelok kiri, tapi dari sebelah kanan, ada motor yang berkecepatan tinggi.
“Bapak, awas!” teriakku. Aku terjatuh dari peganganku dan aku merasa, kepalaku membentur jalan. Kepalaku sakit sekali dan lama-kelamaan mataku menutup.
***
“Bapak? Ibu? Aku dimana?” tanyaku. Namun, tidak ada jawaban dari mereka.
“Pak Bu, kok diam saja?” tanyaku. Lagi-lagi, bapak dan ibu tidak menyahut pertanyaanku. Aku mencoba menyentuh mereka, namun, aku tak dapat merasakan. Aku bangkit dari ranjangku.
“Lhoh, anak yang tidur di ranjang itu kan, aku?! Lalu, aku siapa?” aku langsung melihat sekujur tubuhku. Aku bangkit tanpa ragaku? HAH?!
“Bapak Ibu, Tania disini...” isakku. Mereka tidak mendengarku, menoleh ke arahku saja tidak. Benda-benda yang aku sentuh, semuanya tembus pandang. Apakah aku hantu? Aku mencoba kembali ke ragaku dan mencoba membuka mata. Namun, aku tak dapat menggerakkan ragaku.
“Ya Allah, apa yang terjadi? Aku masih menginginkan hidup di dunia ini bersama ragaku. Ya Allah, jangan pisahkan kami, aku dan keluarga serta sahabat-sahabatku. Ya Allah, aku belum siap ...” isakku.
“Tania! Maafkan bapak! Ini salah bapak! Bapakmu sudah jahat!! Bapak seperti apa, aku ini?” teriak bapak. Aku menangis dalam raga yang rasanya sudah mati. Perih rasanya, namun apa boleh buat, mungkin, hidupku tinggal menghitung hari, atau mungkin menit.
“Ya Allah, aku ingin bangun. Mengusap air mata ibu dan bapakku. Memeluk mereka. Membahagiakan mereka. Menemani mereka. Dan masih bisa berkata, ibu bapak, aku masih di sini.”
***
Hari berikutnya, aku masih di ranjang dengan perban di kepala, oksigen di hidung, dan infus di tangan. Masih sama seperti hari kemarin, aku tetap tidak bangun bersama ragaku. Terlihat,  ada Fahri, Venna, Christi, dan Bowo di luar pintu. Mereka masuk dan bergantian dengan orang tuaku.
“Tania, bangun sayang. Bangun. Aku kangen kamu.” bisik Venna.
“Tan, ini aku bawakan bunga mawar kesukaan kamu. Cepet bangun, cepet sekolah, aku kangen canda kamu.” ucap Fahri.
“Temen-temen, aku kangen kalian!! KANGEN! Tapi rasanya, aku sudah tidak bisa bersama kalian lagi. Maafkan aku... Walau aku tahu, kalian tak dapat mendengar suaraku.” ucapku.
Sore harinya, aku melihat kabut hitam dan jubah hitam. Mungkinkah ia izroil? Mungkinkah ia akan datang kepadaku? Dan, aku akan meninggalkan dunia ini, selamanya? Jauh dari ibu, bapak, dan sahabat-sahabatku? Apakah aku siap? Kabut hitam serta jubah hitam benar-benar mendatangiku. Aku takut! Rasanya, aku ingin kabur dan bersembunyi. Namun, aku tak dapat berlari dan bersembunyi lagi. Karena aku tahu, inilah saatnya.
***
Saat pemakamanku, Ibu pingsan tak kuasa menahan tangis. Bapak masih menyalahkan dirinya saat kejadian kecelakaan itu. Fahri, dia orang terlama dan terakhir yang menantiku di pemakaman.
“Selamat tinggal semuanya. Tetap jalani hari kalian tanpa Tania, ya. Tania masih disini kok, iya, di hati kalian. Tania sayang kalian, Ibu, Bapak, Fahri, dan semuanya!! Maafkan perbuatan Tania dan thanks for everything! Love you, guys!! Dadaah...” []
***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar