Kamis, 18 September 2014

Cerpen Tugas


Sandiwara Cinta
Oleh : Tri Agustina

Cerita ini, berawal dari sebuah kenyataan manis yang sukses membuat kenangan indah di lubuk hati. Ya, ini ceritaku dan ini pengalamanku.
Aku sedang bermain petak umpet dengan adikku, adikku bertugas menjaga dan aku yang bersembunyi. Aku menggiring kakiku menuju loteng bekas kamarku. Ya, aku menjumpai tumpukan debu dan sarang tikus. Aku terperangah oleh dua ekor tikus yang sedang menggerogoti kabel telepon usang.
“Hei, sejak kapan ada telepon seantik ini di rumahku?” pikirku. Aku menariknya dari lorong meja, sehingga membuat dua ekor tikus tersebut berlari terbirit-birit kembali ke sarangnya.
“Aduh!” seruku. Tanpa sengaja kepalaku membentur meja yang ada di atas kepalaku. Aku mencoba bangkit sambil membawa telepon yang aku temukan baru saja. Aku berjalan mengelilingi bekas kamarku yang kini sudah menjadi gudang dan sarang tikus. Harapannya sama kok, ya, siapa tahu menemukan sesuatu yang menarik. Aku melenggang tanpa melihat permukaan yang aku injak, aku tergelincir dan jatuh. Sakit sekali rasanya. Aku bangkit dan aku baru sadar, jika aku terjatuh dari dipan.
“Oh, cuma mimpi,” batinku. Aku membuka tirai kamarku, terlihat pematang sawah terhampar hijau, secercah sinar yang berasal dari ufuk timur pun ikut meneranginya. Aku mengambil ponsel serta membukanya. Seperti biasa, sudah ada sepucuk pesan tergambar di layar ponselku. Dia, menjelma menjadi senyum yang tidak bisa ku jelaskan dengan kata-kata, penyebab datangnya semangat tanpa alasan. Dia, yang mungkin semu namun nyata. Serta dia, orang yang  mengenalku dan tidak ku kenali. Dia bak embun di pagi hari, saat fajar menyingsing, kala semua orang bersiap dengan rutinitasnya.
Pagi ini, aku berangkat sekolah dengan biasanya. Di temani oleh bayangan dan jejak yang ku tinggal setiap langkahnya. Beberapa meter dari sekolah, aku bertemu dengan kaum adam, nampaknya ia kakak kelas, kakak kelas yang tak pernah kulihat sebelumnya. Lelaki itu nampaknya tercengang melihat kehadiranku, aku melintas di depan lelaki itu, aku tersenyum dan berlalu.
Saat istirahat, Askar mengajakku turun untuk membeli beberapa camilan. Kala itu, tempat sedang sepi. Mataku tertuju dengan seorang lelaki yang tidak asing. Ia bersama dengan temannya. Saat lelaki itu menyadari keberadaan kami, lelaki itu langsung menarik lengan temannya.
“Nan, kakak-kakaknya kok langsung pergi waktu lihat kita, ya?” tanya Askar. Aku mengangkat bahu tanpa memperdulikan ucapan Askar. Bel berbunyi dan kami segera bergegas kembali ke kelas.
“Nanda, di panggil Bu Rina di ruang guru,” ucap Sakti. Tanpa babibu lagi, aku bergegas menuju ruang guru sendirian. Saat aku berjalan melintasi koridor kelas, aku merasa ada sepasang sorot mata yang memperhatikan tiap langkah ini. Entah siapa, batinku tetap saja tergoyak dengan firasat yang sama. Rasa yang hadir kala fajar menyingsing, dia. Mengapa gerak-geriknya selalu saja tak tertangkap oleh sorot mata ini? Tuhan, mengapa rasa ini tiba-tiba datang? Menghantui tanpa mengenal waktu. Aku berjalan dengan bergumam, meyakinkan firasat yang tiba-tiba hadir, TIDAK!
Aku keluar dari ruang guru dengan membawa secarik kertas, kertas pedoman lomba mengarang. Sekolah telah memilihku untuk mewakilkan sekolah dalam ajang FLSS. Pembinaan akan diadakan seusai jam terakhir tiap harinya menuju hari perlombaan. Aku kembali melintasi koridor kelas yang tadinya aku lewati. Aku menoleh ke timur, sepi. Aku mempercepat langkahku, bukan karena aku takut, namun, aku sadar aku sedang meninggalkan jam pembelajaran. Aku masuk ke dalam kelas, menjelaskan keterlambatan masuk, dan bergabung dengan teman lainnya.
Beberapa hari ini, aku di sibukkan oleh tugas dan persiapan lomba. Ponsel yang biasanya terkondisi setiap waktunya, kini mulai merenggang. Meninggalkan beberapa kegiatan yang mulanya memenuhi rutinitasku, termasuk membalas pesan singkatnya. Aku menjadi jarang atau pun tak sama sekali menjawabnya, faktor pendukung alasan terkuat ialah pulsa, aku belum sempat mengisinya. Hari ini, semuanya terkontrol dengan baik. Aku melihat beberapa sosial mediaku yang sempat aku hiraukan. Aku tertuju pada twitter, terlintas jelas di beranda tentang unek-unek seorang lelaki yang mungkin sedang ditinggal oleh wanitanya. Aku begitu gemas dengan tweet-tweetnya, satu cerita dalam tokoh yang sama. Beberapa tweet yang sukses membuatku dapat menggambarkan seseorang itu.
Eh, kenapa jadi aku ngurusin hidup orang? Duh, Nan. Tapi tunggu, kece juga nih, kalau bisa dijadiin cerita,” pikirku. Karna aku rasa tugas dan persiapan lomba sudah selesai, aku memutuskan membuat cerita untuk mengisi blog. Tanpa sengaja, aku meretweet salah satu tweet orang tersebut. Hidungku membesar, “Sial, ketahuan ngestalk kan! Ah!”
Ibu baru saja mengisi pulsaku, karena aku mempunyai pulsa, maka … sesopannya aku akan membalas pesan singkat yang beberapa hari ini aku tinggalkan. Aku menunggu balasan dengan menduakannya bersama netbook. Lagi-lagi, aku kecanduan oleh netbook dan aku amnesia dengan ponsel. Beberapa pesan singkat serta miscall memenuhi layar ponselku, dari satu orang yang sama, dia. Dalam pesan singkatnya, ia mencoba memberi tahu dirinya, “Dek, aku orang yang kamu lihat di dekat gerbang sekolah beberapa lalu dan jika kamu memperhatikan, aku juga orang yang berpapasan dengan kamu di kantin sekolah.” Apakah mungkin, dia juga yang memiliki sepasang sorot mata yang tidak berhasil aku tangkap beberapa lalu? Aku termangu sambil sesekali mencuri pandangan menuju layar ponsel.
Untuk kesekian harinya, dia mulai menunjukkan dirinya, dia nyata tidak semu. Dia benar ada dan tak hanya ilusi, ini nyata, NYATA! Dan sekarang, aku mengetahui namanya, Fahmi. Aku tak tahu oleh rasa yang tiba-tiba singgah, yang tiba-tiba penuhi sudut terpencil di otakku, hingga memenuhi relung-relung hati. Mungkin, aku jatuh cinta.
Hari ini adalah hari perlombaan, aku bangun seperti biasanya. Aku meraih ponsel dan aku merasakan getaran, pesan? Aku membukanya dan benar saja, “Dek, semangat lombanya ya. Bawa nama baik sekolah. Jangan lupa, bawa doa dan harapannya. Sukses ya. Nanti, kalau udah selesai, kasih kabar ya. :)” Aku histeris dengan pesan ini, berjingklak-jingklak dan berteriak tanpa jelas. Entah apa yang aku rasakan, intinya aku suka dan terbang, yup!
Aku menggoreskan tinta demi tinta di beberapa lembar berbaris, aku terus menggoresnya hingga hanya aku yang tersisa di tempat tersebut. Pengawas terlihat mondar-mandir di dekat pintu sambil melirikku, seolah-olah memintaku untuk cepat selesai dan keluar. Yup, selesai! Bu Rina sudah menungguku di luar dan mengajakku untuk ke aula, menyaksikan pengumuman lomba yang sudah berlangsung. Namun, tak ada nama Ainanda Sekarayu Kinasih dalam pengumuman lomba tersebut. Aku memutuskan untuk minta dijemput dan segera beristirahat. Dalam perjalanan pulangku, aku meninggalkan sebuah tulisan di twitterku, “Maaf, Nanda belum berhasil. :(“ Tak lama kemudian, beberapa interaksi muncul di layar ponselku.
Yaudah gapapa, sekarang istirahat dulu, mesti capek abis nulis folio yg banyak itu, :)” mention dari … Mas Fahmi. Ah, dia memang menjelma menjadi senyum yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
***
Aku merobek tanggalan pada kalender lepas. Hari ini, tanggal 8 Juli. Iya, ada seseorang nun jauh disana yang sedang merayakan hari kelahirannya. Pahit adalah ketika aku sudah tidak bisa bertegur sapa atau mengucapkan selamat hari kelahirannya. Selama 6 bulan, aku merintih kerinduan, menunggu kabar layang yang tak pernah kembali ke pengirimnya. Yang mungkin pergi dan tak memperdulikan jalannya untuk pulang. Mas, aku kangen kamu. Mungkin, sepatah kalimat tadi belum cukup menggambarkan semuanya, tapi setidaknya, kalimat itu sudah mewakili seluruh perasaanku. Semua terjadi begitu cepat, tanpa teori dan banyak basa-basi. Aku melihatmu, mengenalmu, lalu mencintaimu. Sesederhana itukah kamu mulai menguasai hari-hariku? Kamu menjadi penyebab segalanya, segalanya yang ku lakukan setelah engkau pergi, pergi yang entah kemana. Aku mulai membiasakan perjalananku tanpa kamu, iya, sebelum aku mengenalmu. Namun, ilmu praktek memang tak sejalan dengan ilmu teori, begitu pula dengan perjalananku, yang tidak sejalan dengan teoriku. Aku tak bisa melupakanmu, sungguh. Kamu masih menjadi kenyataan di dunia ini, meski tabu untuk kehidupanku. Aku melihatmu dari kejauhan dan tidak terlihat bila kamu sedang melihat kejauhan, kamu sudah bahagia tanpa aku. Tanpa aku yang nampaknya sudah tidak terlihat lagi di matamu. Kamu sukses merobohkan semua harapan yang berpondasi semen, kamu juga berhasil mematahkan sebatang kayu jati.
 Ketika aku mulai memasuki dunia baruku, kamu kembali mengetuk pintu lamaku, yang sudah terlihat lapuk termakan rayap. Kamu pulang dan mengajakku berjalan-jalan mengingat masa lalu kita. Namun, perjalanan ini terulang kedua kalinya. Ketika aku kehilangan komunikasi denganmu, komunikasi yang sebelumnya berakhir dengan amarah. Aku mulai berlari mengejarmu untuk mengucapkan kata maaf, namun, sepertinya aku kehilangan jejakmu di persimpangan. Selama 2 bulan pula, aku mencarimu di segala persimpangan. Aku lelah dan aku memutuskan untuk beristirahat di pojok jalan. Tiba-tiba, seseorang menyodorkanku sapu tangan. Aku mendongakkan kepalaku untuk mengucapkan terima kasih, namun, kedua mataku tertahan oleh sorot mata yang tidak asing, Fahmi. Ia berbalik badan dan langkah tegap maju dari formasinya. Kawan, Fahmi kembali. Kami berjalan bersamaan, walaupun tak beriringan, ia satu langkah di depanku. Ia mengantarkanku kembali ke rumahku dan tidak berkata apa pun. Aku tak sempat menahannya, karena aku tahu, ia akan kembali ke rumahnya.
5 Agustus, hari ini umurku bertambah 1 tahun. Ya, umurku 15 tahun, sudah cukup dewasa dan kokoh untuk menjalani perjalananku yang masih panjang ini dengan kesendirian, aku sudah biasa. Sudah 1 tahun lebih pula, aku mengenalmu dan dibiarkan dalam alur cerita yang rumit. Rasanya menyebalkan jika aku tak mengetahui isi hatimu, kamu sangat sulit ku tebak. Kamu teka-teki yang punya banyak jawaban juga banyak tafsiran. Aku takut menerjemahkan isyarat-isyarat yang kau tujukan padaku. Aku takut mengartikan kata-kata manismu yang mungkin saja tak hanya kau katakan untukku. Aku takut mempercayai perhatian sederhanamu yang kau perlihatkan secara terselubung. Aku takut. Semakin takut jika perasaan ini bertumbuk ke arah yang tidak ku inginkan. Tolong hentikan langkahku jika memang segalanya yang ku duga  benar-benar hal yang salah di matamu. Serta, kembalikan aku ke jalanku sebelum aku mengganggu rute tujuanmu. Iya, sebelum kamu mengenalku. Ketahuilah Mas, aku sedang berusaha melawan jutaan kamu yang mulai mengepul di otakku seperti asap rokok yang menggantung di udara. Kamu seakan-akan nyata, hingga aku tak percaya ternyata kita bisa melangkah sejauh ini. Iya, saat aku mengerti kenyataan yang terjadi, saat kamu tak pernah menganggapku serius dan hanya menjadikanku pelampiasanmu saja. Terima kasih dengan sandiwara ini, terima kasih oleh hal-hal sederhana yang seakan-akan sengaja diciptakan untuk tidak dilupakan, terima kasih. Dan selama ini juga, aku tak pernah berani mengatakan satu hal yang mungkin mengagetkanmu. Aku mulai menyukaimu, diantara rindu yang selalu gagal ku ungkapkan serta dalam rasa canggung  yang belum ku pahami. Kamu. []
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar